Tuesday, April 17, 2012

Happiness


Bahagia. Kata itu seperti tertancap permanen pada pikiran Helena. Sebuah kata yang sekalipun tak pernah ia bayangkan akan terjadi lagi pada kehidupan selanjutnya. Sebuah kata yang sudah ia lupa bagaimana rasanya. Sebuah kata yang dikubur bersama masa lalunya.

“Helena, it’s time to sleep!

Helena menyapukan jemarinya cepat-cepat pada pipinya. Menghapus air matanya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati suster Medie tersenyum hangat ke arahnya.

I know it’s hurt honey, but may be The Lord has plan behind everything he puts in our life.” Ucap suster Medie.

You don’t...” Helena menghelana nafas. “You don’t know this feeling. I’m totally dying.”. Helena menatap lurus ke arah kedua mata suster Medie dengan tatapan kosong, “Sorry, Could you go from here? I promise i will sleep.” Helena kembali menatap jendela, berusaha menjatuhkan tatapannya pada titik kehampaan di luar sana. Dari sudut matanya ia tahu bahwa suster Medie telah keluar dari kamarnya dengan wajah sedih.

“Semua telah berakhir. Untuk apa aku melanjutkan drama kehidupan ini lagi?” Pikir Helena. Semua sudah sempurna sampai kejadian itu terjadi. Tabrakan naas yang menyebabkan kedua orangtuanya meninggal di tempat dan ia kehilangan kendali kakinya untuk sementara waktu. Beruntung kakek dan neneknya lebih dari cukup untuk mengobatinya di Singapura. Tapi bagi Helena, semua itu tidak akan pernah cukup.

Helena mangambil buku catatan pada laci di meja dan menulis, “Bahagia? Perasaan itu cuma topeng dibalik kesakitan, kekecewaan, dan penderitaan. Bahagia memabukkan seperti anggur, tapi kesakitannya akan muncul saat alkoholnya mulai bereaksi dalam tubuhmu. Bahagia akan melambungkanmu dan akan menjatuhkanmu kemudian.”

β

Helena menggiring kursi rodanya ke salah satu pohon rimbun di tengah-tengah taman Rumah Sakit Mount Elizabeth. Dia menutup mata. Ia lebih terbiasa dengan kegelapan belakangan ini. Ketika matanya terbuka, ia terkejut melihat sesosok laki-laki menatapnya dengan bingung.

It’s not a good place for sleeping miss.” Kata laki-laki itu. Helena menelusuri setiap inci tubuh laki-laki itu. Umurnya kira-kira sebaya dengannya. Sekitar 19 tahun. Gaya berpakaian yang kasual, dewasa, dan trendy. Ia memiliki wajah melayu, beda dengan Helena yang sedikit chinese. Mungkin itu alasannya ia berbicara dengan bahasa Inggris.

I’m not sleeping. I just closed my eyes.” Sahut Helena terdengar sedikit angkuh.

Dan ia kembali terkejut melihat senyum yang mengembang pada wajah lelaki itu. “Awalnya kukira kamu pingsan lho.” Ucapnya dalam bahasa Indonesia. Melihat Helena yang terdiam ia menaikkan alisnya, “Sorry, i thought you are Indonesian.”

“Yes, I am. Darimana kamu tahu?” Helena menyipitkan matanya seperti menuduh.

“Aku punya kemampuan supranatural.” Ujarnya sembari mengedipkan matanya.

Helena mendengar namanya disebut. Ia memiringkan kepalanya dan melihat sosok suster Medie memanggilnya dari pintu masuk rumah sakit.

I Have to go or i’ll catch on problem.” Ucap Helena dengan judes.

Aye Capten!” Sahut lelaki itu. Lelaki itu yang berjalan ke belakang Helena dan mendorong kursi rodanya.

Runtuhlah pertahanan Helena untuk berikap judes kepada lelaki itu. Sifat easy goingnya membuat Helena penasaran sekali. Sudah terhitung 3 kali laki-laki ini membuatnya terkejut dalam waktu singkat.

By the way, namaku Triba. Aku tahu itu nama yang aneh. Ibuku memang unik dalam pemilihan nama. Asal kau tahu, nama kakakku Ganggi dan nama adikku Luto. Mungkin itu efek setelah melahirkan ya.” Cerocosnya.

“Catatan untuk diriku; membongkar sikap laki-laki cerewet dengan nama unik ini.” Pikir Helena.

β

*Seminggu kemudian*

Helena menyapu tatapannya ke sekitar taman rumah sakit. Mencari sosok Triba. Setiap hari mereka duduk bersama pada pohon rimbun di tengah-tengah rumah sakit. Membicarakan apapun yang terlintas pada pikiran mereka. Tapi Helena belum membongkar semua identitas pribadi Triba. Triba bilang bahwa ia menemani adiknya yang sakit disini. Kaki Helena pun sudah bisa digerakkan kembali tapi masih dalam tahap penyembuhan. Jadi ia diharuskan memakai tongkat kemanapun.

Ia tidak melihat sosok Triba dimana pun, jadi ia membuka buku catatannya dan menulis, “Kebahagiaan mulai melambungkanku kembali. Tapi rasanya kebahagiaan ini berbeda dengan yang pernah kurasakan. Suster Medie bilang aku sedang jatuh cinta.  Jujur saja aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi aku masih bertanya-tanya, apakah kebahagian ini akan menjatuhkanku lagi? Aku penasaran kapan itu terjadi....”. Sebuah bayangan menutupi sumber cahaya Helena untuk menulis. Ia mendongkakkan kepalanya dan melihat sosok Triba tersenyum simpul ke arahnya.

“Luto sudah diizinkan pulang. Ia akan kembali ke Indonesia besok.” Ia duduk disebelah Helena dan tertawa ringan untuk mencairkan suasana yang hening.

Dengan suara dibuat tegar Helena mengatakan, “Kau akan ke Indonesia juga kan? Kalau kakiku sembuh aku pun akan kembali ke sana kok.” Ia paksakan sebuah senyum di wajahnya, tapi gagal. Sudah terlalu lama Helena tak tersenyum.

Muncul ekspresi keterkejutan pada wajah Triba, “Ummm... Apa aku belum bilang padamu bahwa aku sebenarnya kuliah di Jepang? Well, besok aku akan pergi ke Jepang lansung, jadi....” Ucapnya sedikit tergagap.

Helena menundukkan kepalanya. Ia mulai mengenal perasaan ini. Perasaan yang dulu menguburnya kembali datang. Ia merasakan air matanya jatuh tanpa bisa ia bendung. Ia mengangkat wajahnya, menatap Triba yang berekspresi kaku. “You haven’t told me! You never tell me anything.” Ia mengambil tongkatnya dan berjalan dengan terburu-buru. Ia mendengar namanya disebut-sebut oleh Triba, tapi tiba2 pendengarannya menjadi hilang. Hal yang sering ia rasakan saat ia syok.

β
*keesokkan harinya*

Langit menumpahkan isinya. Menyapu sudut-sudut Rumah Sakit. Membawa rasa damai dan ketenangan. Tapi Helena tidak merasakannya. Ia tidak kacau, tapi tidak juga tenang. Ia hampa. Tidak ada lagi air mata. Perasaanya tidak bisa lagi diwakilkan oleh air mata. Bahkan ia tidak bisa merasakan apapun. Ia sudah terlalu banyak merasakan kesakitan.

Ia butuh tempat lain untuk menyendiri. Helena mengambil tongkatnya dan menggerakkannya tanpa ia sadari kemana tangannya mengarahkan tongkat tersebut. Saat akhirnya ia tersadar bahwa ia menggerakkan tongkatnya ke pohon rimbun di tengah-tengah rumah sakit. Ia duduk di naungan pohon itu. Ia menyeka air matanya dan mencoba menutup mata. Berharap saat ia membukakan matanya, Triba akan muncul dihadapannya. Seperti saat pertama kali.

Saat ia membukakan matanya, ia tidak menemukan siapapun dihadapannya.

“Helena bodoh! Ia pasti sudah di Bandara. Apa yang kau harapkan?” Pikirnya. Ia tersenyum bodoh pada dirinya sendiri dan membiarkan lelehan air mata jatuh ke pipinya. Saat ia menyadari bahwa di sampingnya tergeletak buku catatannya. Ia ambil buku itu dan marasakan kehangatan pada benda itu. Ada seseorang yang baru menyentuhnya sebelum dia.

Ia buka buku catatan itu dan melihat tulisan tangan rapih tapi bukan tulisan tangannya. Ia mulai membaca,

 Ahoy Capten! You left this book yesterday. Maaf aku mengintip sedikit tulisanmu disini ;) Aku janji akan merahasiakannya kok! Kau tahu kan aku bukan ember :p
Asal kau tahu Kapten, bukumu ini terlalu suram. Bagaimana kalau kububuhkan sebuah cerita yang menarik? Boleh dong? :p

Kisah ini berawal dari aku yang terpaksa menghabiskan liburan 1 bulanku untuk merawat adikku yang dirawat di Singapura. Ternyata adikku mengidap kanker darah. Ia dikirim ke Singapura karena ayahku kenal kerabatnya yang spesialis dalam hal ini. Satu minggu pertama itu adalah minggu tersuram untuk keluargaku. Aku depresi berat. Ketika melihat betapa depresinya aku, kakakku menyuruhku untuk mencari udara segar. Dengan mood yang berantakkan, aku meyisiri setiap sudut taman Rumah Sakit. Dan aku melihat seorang gadis cantik dengan mata tertutup rapat. Kudekati gadis itu dan kutatap lekat-lekat wajahnya. Ia tampak manis, tapi banyak garis penderitaan pada wajahnya. Garis yang ingin sekali aku hilangkan. Saat ia membuka matanya aku melihat ketakutan. Seakan aku akan memakannya pada detik itu. Tapi raut wajah seramnya memudar dan berganti menjadi topeng yang misterius. Catatan untuk diriku; membongkar topeng misterus wanita dengan kursi roda ini. Lagipula aku punya tiga minggu sampai aku harus kembali ke Jepang.

Hari berlanjut dan kami semakin dekat. Sosok misteriusnya semakin mengendur. Seiring dengan itu keadaan adikku pun berangsur membaik. Sepertinya gadis ini “Dewi Fortuna”ku. Satu bulan lewat sudah, adikku sudah sembuh total, dan aku harus melanjutkan kuliahku di Jepang. Sayang kabar baik harus diiringi kabar buruk. Aku harus meninggalkan Dewi Fortunaku.

Kulihat ia berada di pohon rimbun seperti biasa. Ia sedang menulis sesuatu. Kegiatan yang jarang ia lakukan. Catatan untuk diriku; aku harus membaca apapun yang ditulisnya. Kudekati dia dan mencoba menjelaskan soal kepulanganku. Baru kesadari, ternyata misi pertamaku untuk membongkar topeng misteriusnya tidak pernah berhasil . Aku tidak pernah mengenal dirinya dan begitu pun dia terhadapku. Rasanya sangat sakit saat melihatnya menangis. Aku tidak berusaha mengejarnya karena aku pun terlalu syok atas reaksinya terhadap kepulanganku. Kuedarkan tatapanku hingga jatuh ke sebuah notebook kecil. Notebook miliknya. Kuambil notebook itu dan membacanya. Semakin aku membacanya, semakin aku tahu bahwa aku tak pernah mengenalnya. Betapa aku sangat bodoh. Dan lalu aku menangis.

Tahukah kau mengapa aku menangis? Karena kau tak tahu sesuatu Kapten. Saat kau membungkus dirimu, menutup dirimu dari dunia, dan meneguhkan diri bahwa kau tidak suka dengan “kebahagiaan”, tanpa kau sadari sebenarnya kau sudah menjadi bagian kebahagian orang lain. Dan kau lah bagian dari kebahagiaanku sekarang. Bahagia itu bukan hanya sekedar perasaan, tapi juga bagaimana kau menjadi alasan dari perasaan itu.

 Akan aku janjikan sesuatu padamu Kapten. I promise when the happiness take you high, i’ll be there. i’ll hold you and never let anything take you down again ;) Just wait it.



Helena menatap buku itu dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Semua perasaan berkecamuk dalam dirinya. Ia tak bisa mendeskripsikannya satu-satu. Tapi ada satu perasaan yang mendominasinya. Bahagia.

“Catatan untuk diriku; aku akan menyusul si bodoh Triba dan menagih janjinya.” Ucap Helena.


1 comment:

Senja Dongker said...

bagus banget!! aku nangis bacanya :") keep writing ya!!