Bahagia. Kata itu seperti tertancap
permanen pada pikiran Helena. Sebuah kata yang sekalipun tak pernah ia
bayangkan akan terjadi lagi pada kehidupan selanjutnya. Sebuah kata yang sudah
ia lupa bagaimana rasanya. Sebuah kata yang dikubur bersama masa lalunya.
“Helena, it’s time to sleep!”
Helena menyapukan
jemarinya cepat-cepat pada pipinya. Menghapus air matanya. Dia menoleh ke
belakang dan mendapati suster Medie tersenyum hangat ke arahnya.
“I know it’s hurt honey, but may be The Lord
has plan behind everything he puts in our life.” Ucap suster Medie.
“You don’t...” Helena menghelana nafas. “You don’t know this feeling. I’m totally dying.”.
Helena menatap lurus ke arah kedua mata suster Medie dengan tatapan kosong, “Sorry, Could you go from here? I promise i
will sleep.” Helena kembali menatap jendela, berusaha menjatuhkan
tatapannya pada titik kehampaan di luar sana. Dari sudut matanya ia tahu bahwa
suster Medie telah keluar dari kamarnya dengan wajah sedih.
“Semua telah
berakhir. Untuk apa aku melanjutkan drama kehidupan ini lagi?” Pikir Helena.
Semua sudah sempurna sampai kejadian itu terjadi. Tabrakan naas yang
menyebabkan kedua orangtuanya meninggal di tempat dan ia kehilangan kendali
kakinya untuk sementara waktu. Beruntung kakek dan neneknya lebih dari cukup
untuk mengobatinya di Singapura. Tapi bagi Helena, semua itu tidak akan pernah
cukup.
Helena
mangambil buku catatan pada laci di meja dan menulis, “Bahagia? Perasaan itu cuma topeng dibalik kesakitan, kekecewaan, dan penderitaan. Bahagia memabukkan
seperti anggur, tapi kesakitannya akan muncul saat alkoholnya mulai bereaksi
dalam tubuhmu. Bahagia akan melambungkanmu dan akan menjatuhkanmu kemudian.”
β
Helena
menggiring kursi rodanya ke salah satu pohon rimbun di tengah-tengah taman Rumah
Sakit Mount Elizabeth. Dia menutup mata. Ia lebih terbiasa dengan kegelapan
belakangan ini. Ketika matanya terbuka, ia terkejut melihat sesosok laki-laki
menatapnya dengan bingung.
“It’s not a good place for sleeping miss.”
Kata laki-laki itu. Helena menelusuri setiap inci tubuh laki-laki itu. Umurnya
kira-kira sebaya dengannya. Sekitar 19 tahun. Gaya berpakaian yang kasual,
dewasa, dan trendy. Ia memiliki wajah
melayu, beda dengan Helena yang sedikit chinese.
Mungkin itu alasannya ia berbicara dengan bahasa Inggris.
“I’m not sleeping. I just closed my eyes.”
Sahut Helena terdengar sedikit angkuh.
Dan ia kembali terkejut
melihat senyum yang mengembang pada wajah lelaki itu. “Awalnya kukira kamu
pingsan lho.” Ucapnya dalam bahasa Indonesia. Melihat Helena yang terdiam ia
menaikkan alisnya, “Sorry, i thought you
are Indonesian.”
“Yes, I am. Darimana kamu tahu?” Helena
menyipitkan matanya seperti menuduh.
“Aku punya
kemampuan supranatural.” Ujarnya sembari mengedipkan matanya.
Helena
mendengar namanya disebut. Ia memiringkan kepalanya dan melihat sosok suster
Medie memanggilnya dari pintu masuk rumah sakit.
“I Have to go or i’ll catch on problem.”
Ucap Helena dengan judes.
“Aye Capten!” Sahut lelaki itu. Lelaki
itu yang berjalan ke belakang Helena dan mendorong kursi rodanya.
Runtuhlah
pertahanan Helena untuk berikap judes kepada lelaki itu. Sifat easy goingnya membuat Helena penasaran
sekali. Sudah terhitung 3 kali laki-laki ini membuatnya terkejut dalam waktu
singkat.
“By the way, namaku Triba. Aku tahu itu
nama yang aneh. Ibuku memang unik dalam pemilihan nama. Asal kau tahu, nama
kakakku Ganggi dan nama adikku Luto. Mungkin itu efek setelah melahirkan ya.”
Cerocosnya.
“Catatan untuk
diriku; membongkar sikap laki-laki cerewet dengan nama unik ini.” Pikir Helena.
β
*Seminggu kemudian*
Helena
menyapu tatapannya ke sekitar taman rumah sakit. Mencari sosok Triba. Setiap
hari mereka duduk bersama pada pohon rimbun di tengah-tengah rumah sakit. Membicarakan
apapun yang terlintas pada pikiran mereka. Tapi Helena belum membongkar semua identitas pribadi Triba. Triba bilang bahwa ia menemani adiknya yang sakit disini. Kaki Helena
pun sudah bisa digerakkan kembali tapi masih dalam tahap penyembuhan. Jadi ia
diharuskan memakai tongkat kemanapun.
Ia tidak
melihat sosok Triba dimana pun, jadi ia membuka buku catatannya dan menulis, “Kebahagiaan
mulai melambungkanku kembali. Tapi rasanya kebahagiaan ini berbeda dengan yang
pernah kurasakan. Suster Medie bilang aku sedang jatuh cinta. Jujur saja aku belum pernah merasakan jatuh
cinta. Tapi aku masih bertanya-tanya, apakah kebahagian ini akan menjatuhkanku
lagi? Aku penasaran kapan itu terjadi....”. Sebuah bayangan menutupi sumber
cahaya Helena untuk menulis. Ia mendongkakkan kepalanya dan melihat sosok Triba
tersenyum simpul ke arahnya.
“Luto
sudah diizinkan pulang. Ia akan kembali ke Indonesia besok.” Ia duduk disebelah
Helena dan tertawa ringan untuk mencairkan suasana yang hening.
Dengan
suara dibuat tegar Helena mengatakan, “Kau akan ke Indonesia juga kan? Kalau
kakiku sembuh aku pun akan kembali ke sana kok.” Ia paksakan sebuah senyum di
wajahnya, tapi gagal. Sudah terlalu lama Helena tak tersenyum.
Muncul
ekspresi keterkejutan pada wajah Triba, “Ummm... Apa aku belum bilang padamu
bahwa aku sebenarnya kuliah di Jepang? Well,
besok aku akan pergi ke Jepang lansung, jadi....” Ucapnya sedikit tergagap.
Helena
menundukkan kepalanya. Ia mulai mengenal perasaan ini. Perasaan yang dulu
menguburnya kembali datang. Ia merasakan air matanya jatuh tanpa bisa ia
bendung. Ia mengangkat wajahnya, menatap Triba yang berekspresi kaku. “You haven’t told me! You never tell me
anything.” Ia mengambil tongkatnya dan berjalan dengan terburu-buru. Ia
mendengar namanya disebut-sebut oleh Triba, tapi tiba2 pendengarannya menjadi
hilang. Hal yang sering ia rasakan saat ia syok.
β
*keesokkan harinya*
Langit
menumpahkan isinya. Menyapu sudut-sudut Rumah Sakit. Membawa rasa damai dan
ketenangan. Tapi Helena tidak merasakannya. Ia tidak kacau, tapi tidak juga
tenang. Ia hampa. Tidak ada lagi air mata. Perasaanya tidak bisa lagi
diwakilkan oleh air mata. Bahkan ia tidak bisa merasakan apapun. Ia sudah
terlalu banyak merasakan kesakitan.
Ia butuh
tempat lain untuk menyendiri. Helena mengambil tongkatnya dan menggerakkannya tanpa
ia sadari kemana tangannya mengarahkan tongkat tersebut. Saat akhirnya ia
tersadar bahwa ia menggerakkan tongkatnya ke pohon rimbun di tengah-tengah
rumah sakit. Ia duduk di naungan pohon itu. Ia menyeka air matanya dan mencoba
menutup mata. Berharap saat ia membukakan matanya, Triba akan muncul
dihadapannya. Seperti saat pertama kali.
Saat ia
membukakan matanya, ia tidak menemukan siapapun dihadapannya.
“Helena
bodoh! Ia pasti sudah di Bandara. Apa yang kau harapkan?” Pikirnya. Ia tersenyum bodoh pada dirinya sendiri dan membiarkan
lelehan air mata jatuh ke pipinya. Saat ia menyadari bahwa di sampingnya
tergeletak buku catatannya. Ia ambil buku itu dan marasakan kehangatan pada
benda itu. Ada seseorang yang baru menyentuhnya sebelum dia.
Ia buka
buku catatan itu dan melihat tulisan tangan rapih tapi bukan tulisan tangannya.
Ia mulai membaca,
Ahoy
Capten! You left this book yesterday. Maaf
aku mengintip sedikit tulisanmu disini ;) Aku janji akan merahasiakannya kok!
Kau tahu kan aku bukan ember :p
Asal kau tahu Kapten, bukumu ini terlalu
suram. Bagaimana kalau kububuhkan sebuah cerita yang menarik? Boleh dong? :p
Kisah ini berawal dari aku yang terpaksa menghabiskan
liburan 1 bulanku untuk merawat adikku yang dirawat di Singapura. Ternyata
adikku mengidap kanker darah. Ia dikirim ke Singapura karena ayahku kenal
kerabatnya yang spesialis dalam hal ini. Satu minggu pertama itu adalah minggu tersuram
untuk keluargaku. Aku depresi berat. Ketika melihat betapa depresinya aku, kakakku
menyuruhku untuk mencari udara segar. Dengan mood yang berantakkan, aku
meyisiri setiap sudut taman Rumah Sakit. Dan aku melihat seorang gadis cantik
dengan mata tertutup rapat. Kudekati gadis itu dan kutatap lekat-lekat
wajahnya. Ia tampak manis, tapi banyak garis penderitaan pada wajahnya. Garis
yang ingin sekali aku hilangkan. Saat ia membuka matanya aku melihat ketakutan.
Seakan aku akan memakannya pada detik itu. Tapi raut wajah seramnya memudar dan
berganti menjadi topeng yang misterius. Catatan untuk diriku; membongkar topeng
misterus wanita dengan kursi roda ini. Lagipula aku punya tiga minggu sampai
aku harus kembali ke Jepang.
Hari berlanjut dan kami semakin dekat. Sosok
misteriusnya semakin mengendur. Seiring dengan itu keadaan adikku pun berangsur
membaik. Sepertinya gadis ini “Dewi Fortuna”ku. Satu bulan lewat sudah, adikku
sudah sembuh total, dan aku harus melanjutkan kuliahku di Jepang. Sayang kabar
baik harus diiringi kabar buruk. Aku harus meninggalkan Dewi Fortunaku.
Kulihat ia berada di pohon rimbun seperti
biasa. Ia sedang menulis sesuatu. Kegiatan yang jarang ia lakukan. Catatan
untuk diriku; aku harus membaca apapun yang ditulisnya. Kudekati dia dan
mencoba menjelaskan soal kepulanganku. Baru kesadari, ternyata misi pertamaku
untuk membongkar topeng misteriusnya tidak pernah berhasil . Aku tidak pernah
mengenal dirinya dan begitu pun dia terhadapku. Rasanya sangat sakit saat
melihatnya menangis. Aku tidak berusaha mengejarnya karena aku pun terlalu syok
atas reaksinya terhadap kepulanganku. Kuedarkan tatapanku hingga jatuh ke
sebuah notebook kecil. Notebook miliknya. Kuambil notebook itu dan membacanya.
Semakin aku membacanya, semakin aku tahu bahwa aku tak pernah mengenalnya.
Betapa aku sangat bodoh. Dan lalu aku menangis.
Tahukah kau mengapa aku menangis? Karena kau
tak tahu sesuatu Kapten. Saat kau membungkus dirimu, menutup dirimu dari dunia,
dan meneguhkan diri bahwa kau tidak suka dengan “kebahagiaan”, tanpa kau sadari
sebenarnya kau sudah menjadi bagian kebahagian orang lain. Dan kau lah bagian
dari kebahagiaanku sekarang. Bahagia itu bukan hanya sekedar perasaan, tapi
juga bagaimana kau menjadi alasan dari perasaan itu.
Akan
aku janjikan sesuatu padamu Kapten. I promise when the happiness take you high,
i’ll be there. i’ll hold you and never let anything take you down again ;) Just wait it.
Helena
menatap buku itu dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Semua perasaan
berkecamuk dalam dirinya. Ia tak bisa mendeskripsikannya satu-satu. Tapi ada
satu perasaan yang mendominasinya. Bahagia.
“Catatan
untuk diriku; aku akan menyusul si bodoh Triba dan menagih janjinya.” Ucap
Helena.