Tuesday, April 17, 2012

Happiness


Bahagia. Kata itu seperti tertancap permanen pada pikiran Helena. Sebuah kata yang sekalipun tak pernah ia bayangkan akan terjadi lagi pada kehidupan selanjutnya. Sebuah kata yang sudah ia lupa bagaimana rasanya. Sebuah kata yang dikubur bersama masa lalunya.

“Helena, it’s time to sleep!

Helena menyapukan jemarinya cepat-cepat pada pipinya. Menghapus air matanya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati suster Medie tersenyum hangat ke arahnya.

I know it’s hurt honey, but may be The Lord has plan behind everything he puts in our life.” Ucap suster Medie.

You don’t...” Helena menghelana nafas. “You don’t know this feeling. I’m totally dying.”. Helena menatap lurus ke arah kedua mata suster Medie dengan tatapan kosong, “Sorry, Could you go from here? I promise i will sleep.” Helena kembali menatap jendela, berusaha menjatuhkan tatapannya pada titik kehampaan di luar sana. Dari sudut matanya ia tahu bahwa suster Medie telah keluar dari kamarnya dengan wajah sedih.

“Semua telah berakhir. Untuk apa aku melanjutkan drama kehidupan ini lagi?” Pikir Helena. Semua sudah sempurna sampai kejadian itu terjadi. Tabrakan naas yang menyebabkan kedua orangtuanya meninggal di tempat dan ia kehilangan kendali kakinya untuk sementara waktu. Beruntung kakek dan neneknya lebih dari cukup untuk mengobatinya di Singapura. Tapi bagi Helena, semua itu tidak akan pernah cukup.

Helena mangambil buku catatan pada laci di meja dan menulis, “Bahagia? Perasaan itu cuma topeng dibalik kesakitan, kekecewaan, dan penderitaan. Bahagia memabukkan seperti anggur, tapi kesakitannya akan muncul saat alkoholnya mulai bereaksi dalam tubuhmu. Bahagia akan melambungkanmu dan akan menjatuhkanmu kemudian.”

β

Helena menggiring kursi rodanya ke salah satu pohon rimbun di tengah-tengah taman Rumah Sakit Mount Elizabeth. Dia menutup mata. Ia lebih terbiasa dengan kegelapan belakangan ini. Ketika matanya terbuka, ia terkejut melihat sesosok laki-laki menatapnya dengan bingung.

It’s not a good place for sleeping miss.” Kata laki-laki itu. Helena menelusuri setiap inci tubuh laki-laki itu. Umurnya kira-kira sebaya dengannya. Sekitar 19 tahun. Gaya berpakaian yang kasual, dewasa, dan trendy. Ia memiliki wajah melayu, beda dengan Helena yang sedikit chinese. Mungkin itu alasannya ia berbicara dengan bahasa Inggris.

I’m not sleeping. I just closed my eyes.” Sahut Helena terdengar sedikit angkuh.

Dan ia kembali terkejut melihat senyum yang mengembang pada wajah lelaki itu. “Awalnya kukira kamu pingsan lho.” Ucapnya dalam bahasa Indonesia. Melihat Helena yang terdiam ia menaikkan alisnya, “Sorry, i thought you are Indonesian.”

“Yes, I am. Darimana kamu tahu?” Helena menyipitkan matanya seperti menuduh.

“Aku punya kemampuan supranatural.” Ujarnya sembari mengedipkan matanya.

Helena mendengar namanya disebut. Ia memiringkan kepalanya dan melihat sosok suster Medie memanggilnya dari pintu masuk rumah sakit.

I Have to go or i’ll catch on problem.” Ucap Helena dengan judes.

Aye Capten!” Sahut lelaki itu. Lelaki itu yang berjalan ke belakang Helena dan mendorong kursi rodanya.

Runtuhlah pertahanan Helena untuk berikap judes kepada lelaki itu. Sifat easy goingnya membuat Helena penasaran sekali. Sudah terhitung 3 kali laki-laki ini membuatnya terkejut dalam waktu singkat.

By the way, namaku Triba. Aku tahu itu nama yang aneh. Ibuku memang unik dalam pemilihan nama. Asal kau tahu, nama kakakku Ganggi dan nama adikku Luto. Mungkin itu efek setelah melahirkan ya.” Cerocosnya.

“Catatan untuk diriku; membongkar sikap laki-laki cerewet dengan nama unik ini.” Pikir Helena.

β

*Seminggu kemudian*

Helena menyapu tatapannya ke sekitar taman rumah sakit. Mencari sosok Triba. Setiap hari mereka duduk bersama pada pohon rimbun di tengah-tengah rumah sakit. Membicarakan apapun yang terlintas pada pikiran mereka. Tapi Helena belum membongkar semua identitas pribadi Triba. Triba bilang bahwa ia menemani adiknya yang sakit disini. Kaki Helena pun sudah bisa digerakkan kembali tapi masih dalam tahap penyembuhan. Jadi ia diharuskan memakai tongkat kemanapun.

Ia tidak melihat sosok Triba dimana pun, jadi ia membuka buku catatannya dan menulis, “Kebahagiaan mulai melambungkanku kembali. Tapi rasanya kebahagiaan ini berbeda dengan yang pernah kurasakan. Suster Medie bilang aku sedang jatuh cinta.  Jujur saja aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi aku masih bertanya-tanya, apakah kebahagian ini akan menjatuhkanku lagi? Aku penasaran kapan itu terjadi....”. Sebuah bayangan menutupi sumber cahaya Helena untuk menulis. Ia mendongkakkan kepalanya dan melihat sosok Triba tersenyum simpul ke arahnya.

“Luto sudah diizinkan pulang. Ia akan kembali ke Indonesia besok.” Ia duduk disebelah Helena dan tertawa ringan untuk mencairkan suasana yang hening.

Dengan suara dibuat tegar Helena mengatakan, “Kau akan ke Indonesia juga kan? Kalau kakiku sembuh aku pun akan kembali ke sana kok.” Ia paksakan sebuah senyum di wajahnya, tapi gagal. Sudah terlalu lama Helena tak tersenyum.

Muncul ekspresi keterkejutan pada wajah Triba, “Ummm... Apa aku belum bilang padamu bahwa aku sebenarnya kuliah di Jepang? Well, besok aku akan pergi ke Jepang lansung, jadi....” Ucapnya sedikit tergagap.

Helena menundukkan kepalanya. Ia mulai mengenal perasaan ini. Perasaan yang dulu menguburnya kembali datang. Ia merasakan air matanya jatuh tanpa bisa ia bendung. Ia mengangkat wajahnya, menatap Triba yang berekspresi kaku. “You haven’t told me! You never tell me anything.” Ia mengambil tongkatnya dan berjalan dengan terburu-buru. Ia mendengar namanya disebut-sebut oleh Triba, tapi tiba2 pendengarannya menjadi hilang. Hal yang sering ia rasakan saat ia syok.

β
*keesokkan harinya*

Langit menumpahkan isinya. Menyapu sudut-sudut Rumah Sakit. Membawa rasa damai dan ketenangan. Tapi Helena tidak merasakannya. Ia tidak kacau, tapi tidak juga tenang. Ia hampa. Tidak ada lagi air mata. Perasaanya tidak bisa lagi diwakilkan oleh air mata. Bahkan ia tidak bisa merasakan apapun. Ia sudah terlalu banyak merasakan kesakitan.

Ia butuh tempat lain untuk menyendiri. Helena mengambil tongkatnya dan menggerakkannya tanpa ia sadari kemana tangannya mengarahkan tongkat tersebut. Saat akhirnya ia tersadar bahwa ia menggerakkan tongkatnya ke pohon rimbun di tengah-tengah rumah sakit. Ia duduk di naungan pohon itu. Ia menyeka air matanya dan mencoba menutup mata. Berharap saat ia membukakan matanya, Triba akan muncul dihadapannya. Seperti saat pertama kali.

Saat ia membukakan matanya, ia tidak menemukan siapapun dihadapannya.

“Helena bodoh! Ia pasti sudah di Bandara. Apa yang kau harapkan?” Pikirnya. Ia tersenyum bodoh pada dirinya sendiri dan membiarkan lelehan air mata jatuh ke pipinya. Saat ia menyadari bahwa di sampingnya tergeletak buku catatannya. Ia ambil buku itu dan marasakan kehangatan pada benda itu. Ada seseorang yang baru menyentuhnya sebelum dia.

Ia buka buku catatan itu dan melihat tulisan tangan rapih tapi bukan tulisan tangannya. Ia mulai membaca,

 Ahoy Capten! You left this book yesterday. Maaf aku mengintip sedikit tulisanmu disini ;) Aku janji akan merahasiakannya kok! Kau tahu kan aku bukan ember :p
Asal kau tahu Kapten, bukumu ini terlalu suram. Bagaimana kalau kububuhkan sebuah cerita yang menarik? Boleh dong? :p

Kisah ini berawal dari aku yang terpaksa menghabiskan liburan 1 bulanku untuk merawat adikku yang dirawat di Singapura. Ternyata adikku mengidap kanker darah. Ia dikirim ke Singapura karena ayahku kenal kerabatnya yang spesialis dalam hal ini. Satu minggu pertama itu adalah minggu tersuram untuk keluargaku. Aku depresi berat. Ketika melihat betapa depresinya aku, kakakku menyuruhku untuk mencari udara segar. Dengan mood yang berantakkan, aku meyisiri setiap sudut taman Rumah Sakit. Dan aku melihat seorang gadis cantik dengan mata tertutup rapat. Kudekati gadis itu dan kutatap lekat-lekat wajahnya. Ia tampak manis, tapi banyak garis penderitaan pada wajahnya. Garis yang ingin sekali aku hilangkan. Saat ia membuka matanya aku melihat ketakutan. Seakan aku akan memakannya pada detik itu. Tapi raut wajah seramnya memudar dan berganti menjadi topeng yang misterius. Catatan untuk diriku; membongkar topeng misterus wanita dengan kursi roda ini. Lagipula aku punya tiga minggu sampai aku harus kembali ke Jepang.

Hari berlanjut dan kami semakin dekat. Sosok misteriusnya semakin mengendur. Seiring dengan itu keadaan adikku pun berangsur membaik. Sepertinya gadis ini “Dewi Fortuna”ku. Satu bulan lewat sudah, adikku sudah sembuh total, dan aku harus melanjutkan kuliahku di Jepang. Sayang kabar baik harus diiringi kabar buruk. Aku harus meninggalkan Dewi Fortunaku.

Kulihat ia berada di pohon rimbun seperti biasa. Ia sedang menulis sesuatu. Kegiatan yang jarang ia lakukan. Catatan untuk diriku; aku harus membaca apapun yang ditulisnya. Kudekati dia dan mencoba menjelaskan soal kepulanganku. Baru kesadari, ternyata misi pertamaku untuk membongkar topeng misteriusnya tidak pernah berhasil . Aku tidak pernah mengenal dirinya dan begitu pun dia terhadapku. Rasanya sangat sakit saat melihatnya menangis. Aku tidak berusaha mengejarnya karena aku pun terlalu syok atas reaksinya terhadap kepulanganku. Kuedarkan tatapanku hingga jatuh ke sebuah notebook kecil. Notebook miliknya. Kuambil notebook itu dan membacanya. Semakin aku membacanya, semakin aku tahu bahwa aku tak pernah mengenalnya. Betapa aku sangat bodoh. Dan lalu aku menangis.

Tahukah kau mengapa aku menangis? Karena kau tak tahu sesuatu Kapten. Saat kau membungkus dirimu, menutup dirimu dari dunia, dan meneguhkan diri bahwa kau tidak suka dengan “kebahagiaan”, tanpa kau sadari sebenarnya kau sudah menjadi bagian kebahagian orang lain. Dan kau lah bagian dari kebahagiaanku sekarang. Bahagia itu bukan hanya sekedar perasaan, tapi juga bagaimana kau menjadi alasan dari perasaan itu.

 Akan aku janjikan sesuatu padamu Kapten. I promise when the happiness take you high, i’ll be there. i’ll hold you and never let anything take you down again ;) Just wait it.



Helena menatap buku itu dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Semua perasaan berkecamuk dalam dirinya. Ia tak bisa mendeskripsikannya satu-satu. Tapi ada satu perasaan yang mendominasinya. Bahagia.

“Catatan untuk diriku; aku akan menyusul si bodoh Triba dan menagih janjinya.” Ucap Helena.


Fanfict 2 (part 5)


*Alvyna’s POV*
*Malam Magical Snow Party*

“Kau yakin tidak akan ikut?”
Aku mengangguk mantap. “Kalian terlihat cantik malam ini.” Aku tersenyum kagum ke arah mereka. Belum pernah aku melihat Arina dalam balutan gaun panjang berwarna biru laut. Lehernya yang telanjang ia hiasi dengan kalung berbentuk rasi saturnus yang indah sekali. Arina membiarkan rambut ikal panjangnya -yang biasanya terikat- tergerai, menambahkan kesan feminimnya.
Dan aku berpaling melihat Hest. Hest yang berkepribadian tomboy, memakai gaun terlihat sangat menawan. Gaun coklat pendek dengan renda-renda lucu memutari dari ujung gaun hingga atas membuatnya sangat feminim. Ia memakaikan bondu coklat muda pada rambutnya yang berpotongan pendek.
“Dan kau paling utama Lucie. Aku yakin Josh akan terkesima selama pesta berlangsung.” ucapku dengan tulus. Lucie memang cantik sekali. Gaun merah muda pendek yang mengembang sedikit pada bagian bawahnya karena berlapis-lapis dan dengan pita hitam pada bagian pinggang sangat pas di badannya. Ia mengeriting sedikit rambut lurusnya, sehingga dia menjadi lebih eksotis.
“Aku sedih kau tidak ikut Alv! Aku tidak mungkin berbiacara dengan Theo sepanjang pesta kan?” Ucap Arina dengan sedih. Ia mengajak si pendiam Artheo Lizdus dari asrama hufflepuff yang seangkatan dengan kami.
“Aku pun menerima ajakan Horge karena hanya dia yang mengajakku. Aku ingin lihat semeriah apa pesta ini. Pesta ini kan bisa dibilang premiere. Karena baru pertama diadakan di Hogwarts.” Hest membayangkan semeriah apa pesta nanti. Walau Hest tomboy, dia adalah penggila pesta resmi maupun tidak resmi. Ia menerima ajakan Horge Porfoumn dari asrama Slytherin yang mengaku terkesima dengan sikap cuek Hest. Dia satu angkatan diatas kami.
“Alv, Luna, kalian pasti diajak seorang pria kan! Aku yakin itu! Kenapa kalian menolaknya?” Lucie mulai bersikap seperti mamaku kembali. Bahkan sekarang seperti mamaku dan mama Luna.
“Si kecil Thoms mengajakku. Tapi aku sudah sampai pada halaman astrology dari The Quibbler.” Luna menjawab cuek tanpa berpaling dari majalahnya. Thomoson Hertus dari asarama Gryffindor yang 2 angkatan di bawah kami memang sejak dulu selalu memperhatikan Luna dari jarak jauh.
Well, aku tidak mungkin bilang pada Lucie bahwa Josh mengajakku. “Tapi memang tidak ada pria yang mengajakku.” Aku mengangkat bahu tidak peduli.
“Kau bohong kan Alv! Akudengar Josh mengajakmu sebelumnya” Lucie berkacak pinggang. aku terperanjat. lalu aku mencoba rileks agar tidak memperkacau suasana.
“Dia hanya kasian karena aku tak punya pasangan. Kalian tahu kan dia hanya ingin menjagaku..” aku melihat anggukan dari ketiga temanku sebelum berpaling ke arah Lucie dengan tatapai ‘see’. “Kalian ingin ketinggalan pesta? Cepat pergi! Jangan khawatirkan aku dan Luna. Kami akan baik-baik saja.” Aku mendorong mereka bertiga keluar dari kamar.
“Huh. Akhirnya tenang juga.” Aku membaringkan tubuhku di atas kasur menatap ke luar jendela. Malam yang sangat kelam, tanpa bintang tanpa bulan. Walau malam itu memberikan sugesti kesepian, aku malah menikmati sugesti itu. Seperti mempunyai teman yang sama-sama kesepian.
“Malam yang indah bukan? Sayang mereka yang berpesta tidak bisa menikmatinya.” Ucap Luna tanpa beralih dari majalahnya. Aku terkejut dan mengalihkan perhatianku menatap Luna. Aku lupa bahwa ada Luna di sana.
Aku langsung duduk di atas kasurku, tertarik dengan perkataan Luna. Sebelumnya aku jarang berbicara dengan Luna berdua saja, karena topik yang biasa dibicarakan Luna selalu aneh. Tapi daripada tidak mendapat teman mengobrol, lebih baik aku berbicara dengan Luna.
“Oh ya? Tapi aku rasa malam ini suasannya sangat sepi. Sangat....” Aku mencari kata yang tepat untuk menggambarkan malam ini.
“Mistis.” Luna menjawab kebingunganku. “Seperti bulan dan bintang takut dengan roh-roh jahat yang resah dengan datangnya musim dingin.”
Aku mengerutkan dahi. “Apa roh jahat takut dengan musim dingin?”
Luna menengok ke arahku dengan muka bingung. “Kita hidup di dunia sihir, kan?”
Aku bertambah bingung. “Well, ada sesuatu yang menarik pada halaman astrology hingga kau tidak ingin melewatkannya?” Aku mengganti topik.
Luna menutup majalahnya. “Aku tidak percaya pada ramalan.” Ucapnya sambil mengangkat bahu.
“Lalu kenapa kau membacanya jika kau tak percaya?” Luna selalu berhasil membuatku bingung setengah mati.
“Karena sangat tidak bijak kalau kau membeli majalah hanya untuk mendengar kabar terbaru yang tidak terpecaya.” Luna bangun dari kasurnya. “Aku ingin ke dapur. Pie sangat bagus untuk pencernaan malam hari.”
Aku otomatis langsung berdiri. “Boleh aku ikut? Sejak dulu aku ingin ke sana.”
Luna menengok ke arahku dan tersenyum canggung. “Akan jadi perjalanan yang seru.”
Luna keluar dari kamar menuruni tangga diikuti aku di belakangnya. Aku selalu penasaran, seberapa banyak peri rumah di Hogwarts. Kata ayahku, jika kau ingin memiliki peri rumah datanglah ke Hogwarts karena Albus selalu memperhatikan mereka dengan baik sehingga perilaku mereka juga baik. Tapi Josh bilang kalau peri rumah yang terbuang akan ditampung di Hogwarts dan peri rumah yang terbuang adalah peri rumah yang tidak baik. Dua pendapat yang berlainan.
Kami keluar dari pintu asrama dan di tangga kami bertemu dengan hantu wanita kelabu.
“Ahhh.. kalian mengagetkan aku anak-anak! Apa yang kalian lakukan di sini? Aku kira Albus membuat pesta malam ini.” Ujar Wanita kelabu sedikit melengking.
“Cemilan kecil untuk yang tak berpesta.” Jawab Luna sambil tersenyum.
“Maksud kalian, kalian ingin mengambil makanan ke pesta itu? Tanpa gaun? Kalian ravenclaw yang tak sopan.” Wanita kelabu terlihat kesal kepada kami.
“Kami tidak akan datang ke pesta itu. Kami hanya akan mengambil beberapa makanan dari dapur dan membawanya ke asrama. Kami lapar.” Ucapku tidak kalah kesal dengan Wantia kelabu.
“Oh, kalau begitu jangan lewati Aula Besar. Kalian akan tampak seperti daun hijau diantara daun kuning.” Wanita kelabu melayang melewati kami menuju asrama.
“Aku kira hantu-hantu pun ikut berpesta.” Ujarku lebih kepada diri sendiri.
“Aku yakin mereka ikut berpesta. Wanita kelabu memang penyendiri.” Ucap Luna.
Kami menelusuri koridor demi koridor. Sampai kami berada tepat di depan Lukisan mangkuk buah raksasa. Luna berjinjit dan menggosok-gosok lukisan buah pir dan lukisan itu terbuka. Kami memasukinya. Dan aku melihat banyak sekali peri rumah yang hilir mudik di ruangan besar itu. Mereka pasti sibuk membuat makanan untuk pesta. Luna memasuki ruangan itu diikuti aku yang masih terbengong-bengong.
“Umm permisi.” Luna memanggil peri rumah yang sedang membuat adonan. Peri itu berhenti mengaduk dan menengok malas ke arah Luna. “Kami ingin beberapa pie.”
“Huh. Tidak kah kalian tunggu di atas? Kami pasti akan mengirimkannya! Dasar manusia. Selalu tidak sabar. Kami yang harus repot dengan semua pekerjaannya.” Keluh peri rumah tersebut.
Well, aku setuju dengan pendapat Josh. “Kami tidak datang ke pesta. Maka dari itu kami langsung datang ke dapur. Setidaknya tunjukkan kepada kami. Kami akan mengambilnya sendiri.” Ucapku sedikit kesal dengan ulahnya.
“Huh. Pergilah ke meja disana..” peri itu menunjuk salah satu meja besar. “Jangan ambil terlalu banyak. Mereka-yang-berpesta pasti akan menangih beberapa nanti.”
“Baiklah.” Ucap Luna lalu berjalan riang ke meja yang penuh dengan pie. “Aku suka yang di dalamnya berisi madu.” Luna langsung mengambil satu pie.
Aku melihat-lihat dan semua pie yang berbentuk sama dengan ukuran yang sama bahkan terlihat persis semua. Bagaimana Luna tau yang berisi madu? Aku mengambil acak dan mencium baunya.
“Itu daging.” Ucap Luna. dan memang baunya memang seperti daging. Aku memutuskan untuk membawa yang daging saja.
“Kau hanya perlu satu? Percayalah ini akan jadi malam yang panjang.” Ujar Luna dengan 4 pie di tangannya.
“Aku tidak begitu lapar.” Aku tersenyum lucu melihat Luna. “Ayo pergi. Aku tak ingin dimarahi peri-peri ini.”
Kami keluar daru dapur itu dan berjalan di sepanjang koridor. Kami terus berjalan saat aku sadar ada seseorang yang memanggil namaku. Aku memutar kepala ku mecari-cari sumber suara tersebut saat tatapanku jatuh pada sebuah bayangan.
“ALVYNA!!”
Aku terus memerhatikan bayangan tersebut. Mataku langsung terbelalak saat aku tau bahwa bayangan itu adalah Draco. Aku langsung berbalik dan berjalan cepat. Luna dengan cuek mengikutiku saja di belakangku.
“ALVYNA JEAN SPARROW! AKU TAU NAMAMU! AKU INGIN BERBICARA SEBENTAR DENGANMU” teriak Draco.
Aku berhenti. Berbicara denganku? Ada urusan apa? Akal sehatku menyuruhku untuk berlari sampai ke asrama, tapi hati nuraniku menyuruhku untuk diam dan dengarkan apa yang ingin dikatakan Draco. Dan hati nuraniku menang. Aku berbalik melihat ke arah Luna di belakangku.
“Tak masalahkah kalau kau duluan ke asrama? Dan tolong bawa serta pieku. Aku akan menyusulmu. Ok?” Aku memohon pada Luna.
Luna tersenyum ragu kepadaku. “Hati-hatilah pada sang malam.” Lalu mengambil pie ku dan beranjak pergi. Aku menghirup nafas panjang. Aku harus siap dengan apa yang terjadi.
Aku melihat Draco berhenti di depanku dengan nafas yang memburu. “Well, sedang apa kau di sini?” Tanyanya masih terengah-engah.
Aku menyipitkan mataku. “Bukankah harusnya aku yang bertanya?” Ucapku datar.
“Oh, umm.. aku ingin minta maaf padamu. Aku mencari-carimu di pesta bahkan aku bertanya pada teman sekamarmu. Dan ia bilang kau tidak datang ke pesta. Aku merasa sangat bersalah. Makanya aku mencari-carimu. Dan untungnya aku menemukanmu.” Jelasnya. Entah musim dingin ini berganti menjadi musim panas tapi aku merasa udara di sekelilingku menjadi panas.
“Kau mau memaafkan aku?” Tanya Draco. Aku menangkap nada tulus darinya. Sangat aneh.
“Kau tidak sakit kan Draco?” aku mengerutkan kening sangat bingung dengan yang terjadi.
“Tidak tentu saja. Ada yang salah memangnya?” Draco tertawa. Aku merasa perutku bergejolak mendengar tawanya.
“Kau meminta maaf duluan adalah hal paling tidak wajar di dunia ini.” Ujarku berusaha payah dengan nada datar untuk menyembunyikan perasaanku saat ini.
Draco memasang ekspresi tersinggung. “Salahkah aku meminta maaf?”
“Tidak, tidak. Maksudku.. errr” Yap sekarang aku yang merasa bersalah.
“Jadi kau mau menerima permintaan maaf aku tidak?”
“Errr... Ya baiklah. Lagi pula itu sudah terjadi.”
Draco tersenyum senang dan aku tidak bisa bernafas. “Terima kasih. Kau sangat baik ternyata. Anyway, kenapa kau tak datang ke pesta?”
 “Aku sedang malas saja.” Jawabku sesimple mungkin. Aku ingin percakapan ini selesai.
“Ok. Umm.. Sepertinya aku harus kembali ke pesta. Aku takut teman-temanku mencari-cari aku. sekali lagi terima kasih ya.” Draco membelai halus rambutku dan langsung pergi ke arah Aula Besar. Selama ini hanya Josh yang berani membelai rambutku. Dan Draco melakukannya seakan kami sudah sangat akrab.
Aku berjalan menuju asramaku. Saat sampai di kamarku aku melihat Luna sedang menelungkup di atas kasurnya sembari membaca majalah The Quibbler. Aku melihat 4 loyan pie kosong di sampingnya. Dan aku melihat pie ku berada di atas laci mejaku.
“Bagaimana?” Tanya Luna tanpa beralih dari majalahnya.
“Ini malam yang gila.” Aku menutup pintu di belakangku dan langsung berbaring ke kasurku.
“Aku tidak akan menyangkalnya.”
“Ini serius Luna..” aku menceritakan semua kisahku dalam versi. Luna tidak bereaksi. Dan aku menunggunya. Lalu tiba-tiba Luna menutup majalahnya dan menengok ke arahku.
“Aku tidak pandai memberi saran. Tapi kalau kau ingin dengar, menurutku laki-laki itu seperti malam ini.” Ucap Luna.
“Maksudmu?” Aku menautkan alisku.
“Penuh rahasia. Menyembunyikan yang sang bulan dan bintang-bintang.” Ujar Luna lalu menengok ke arah jendela. Dan saat itu aku bersumpah tidak akan membicarakan tentang Draco dengan Luna. Aku sungguh tidak mengerti yang dimaksudkannya.
“Aku akan mengambil beberapa pie lagi. Mungkin rasa pisang akan enak.” Luna bangkit dari tempat tidurnya dan keluar kamar. Luna adalah satu-satunya gadis mungil yang aku kenal yang banyak makan.
Aku berbaring di atas kasurku masih bertanya-tanya dengan yang terjadi tadi. Aku yakin ini bukan mimpi. Aku menutup mataku dan terlelap dalam tidur tanpa mimpi.