Wednesday, December 21, 2011

Harry Potter and The Other Potter

*Violet POV’S*

Aku terbangun karena mimpi buruk. Aku lalu terduduk di atas kasurku. Aku bermandikan keringat dingin. Aku menutup mataku untuk menenangkan tubuhku tapi gagal. Tubuhku tetap gemetar tanpa sebab. Dalam mimpiku, aku berada di dalam salah satu ruangan yang gelap dan dingin. Sumber cahaya satu-satunya adalah jendela kecil yang berada di atas ruangan tersebut. Di depanku terdapat cermin besar yang penuh dengan debu. Aku yakin bahwa itu adalah cermin tarsah. Tapi ternyata saat Aku bercermin yang Aku lihat bukanlah hasrat terdalamku. Yang Aku lihat adalah seorang laki-laki dengan mata hijau menatap bingung ke arahku. Aku berjalan mendekat ke arah cermin dan sosok di cermin itu mengikuti hal yang aku lakukan. Mataku terbelalak saat menyadari yang dihadapanku adalah Harry Potter, The Boy Who Lived. Karena terkejut, aku terbangung dari tidurku.


*Harry POV’S*

Aku terbangun karena mimpiku. Aku bingung arti dari mimpi tersebut. Dalam mimpiku, aku berada di dalam salah satu ruangan yang gelap dan dingin. Sumber cahaya satu-satunya adalah jendela kecil yang berada di atas ruangan tersebut. Di depanku terdapat cermin besar yang penuh dengan debu. Aku yakin bahwa itu adalah cermin tarsah. Tapi ternyata saat aku bercermin yang aku lihat bukanlah hasrat terdalamku. Yang aku lihat adalah seorang wanita dengan hazel menatap bingung ke arahku. Aku berjalan mendekat ke arah cermin dan sosok di cermin itu mengikuti hal yang aku lakukan. Aku yakin pernah melihat wanita itu. Lalu tiba-tiba cermin tersebut pecah dan membangunkanku dari tidurku.

*Violet POV’S*

“Aku bermimpi itu lagi.” Ucap Violet kepada sahabatnya, Folda.

“Tentang Harry Potter?” tanya Folda tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca.

Folda adalah satu-satunya tempatku bercerita. Kami adalah anak dari panti asuhan penyihir di dunia muggle. Aku dan Folda tidak pernah tahu siapa kedua orang tua kami dan bagaimana kami bisa berakhir di sini. Menurut Suster Helin, aku berada di panti asuhan ini sejak bayi. Dan aku ditemukan dengan kalung bertuliskan Violet di leherku yang masih aku simpan sampai sekarang.

Folda dan aku sekarang berumur 17 tahun. Kami bersekolah di sekolah Hogwarts. Aku adalah murid Hufflepuff sedangkan Folda adalah Ravenclaw. Aku sedang merapihkan barang-barangku karena besok Hogwarts sudah akan memulai pembelajaran baru.

“Yap. Semenjak beberapa minggu ini, hanya itu mimpiku.” Aku memasukkan tongkatku-11”, Holly, bulu ekor unicorn-ke dalam kantaong celanaku.

“Bagaimana kalau kau tanya kepada Harry nanti di stasiun.” Saran Folda.

“Kau gila! Aku belum pernah berbicara kepadanya. Yang benar saja jika aku dengan tiba-tiba mendatanginya dan bilang ‘Hey Harry. Kau tahu aku selalu memipikanmu akhir-akhir ini. Pertanda apa ya?’. I must be crazy!” Aku memutar kedua mataku. Folda tertawa karena ucapanku.

"Kau tau apa yang aku pikirkan saat melihat matamu? mengapa warna matamu hazel sedangkan namamu Violet?" Aku melempar bantal padanya lalu kami tertawa bersama-sama.

Tiba-tiba pintu kamar kami terbuka. Dari celah pintu muncul kepala Suster Emerald.

“Violet, ada seseorang mencarimu.”

Seseorang? Mencariku? Tapi siapa? Tanpa mengelurkan sepatah kata pun aku mengikuti Suster Emerald menuju Ruang Jamu panti asuhan tersebut. Saat pintu terbuka aku menatap punggung lelaki tua itu. Saat lelaki tua tersebut memutar tubuhnya, aku menahan nafasku. Ternyata itu adalah Professor Dumbledore.

“Terima Kasih Suster.” Dumbledore tersenyum ramah pada Suster Emerald.

“Maaf Professor, ada masalah apa ya?” aku memulai percakapan dengan nada gugup.

Dumbledore hanya tersenyum melihat tingkahku. “Ini bukan suatu maslaah. Tergantung dari mana kau melihatnya.” Jelasnya. Aku hanya mengerutkan keningku sebagai respon.

Dumbledore menjelaskan kembali. “Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu yang tlah lama aku sembunyikan..” dengan bahasa tubuhnya, Dumbledore mempersilahkanku untuk duduk. “Aku yakin kau pernah mendengar bahkan bertemu atau mungkin kenal dengan Harry Potter.”

“Aku pernah bertemu dengannya tapi kami belum berkenalan.” Aku menatap mata birunya.

“Bagaimana reaksimu kalau aku mengatakan bahwa dia adalah saudara kembarmu?” Tanya Dumbledore. Aku terkejut dengan pertanyaannya. Aku berpikir ada apa yang terjadi. Aku melihat dumbledore dan tahu bahwa ia sedang menunggu sebuah jawaban.

“Well, aku tidak akan percaya. Sangat-sangat aneh kalau itu bisa terjadi bukan?”

Dumbledore mengangguk setuju. “Tapi ingat, bahwa kita hidup di dunia yang tidak dapat ditebak.”

“Jadi..?”

“Maaf Violet, tapi aku harus mengatakan bahwa itu memang benar.”

“TIDAK MUNGKIN!!” Aku berdiri. “Itu hal paling tidak masuk akal!”

“Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Biar aku jelaskan terlebih dahulu..” Dumbledore memberikan isyarat aku untuk duduk kembali. Aku menurutinya.

“Bukan hal asing lagi bahwa sejak dahulu Voldemort...” Aku meringis mendengar nama itu disebut. “mengincar Harry Potter. Tapi yang orang-orang tidak ketahui bahwa sebenarnya Harry Potter mempunyai saudara kembar. Yang mengetahuinya hanya aku, Sirius, Remus, dan Peter. Dan aku yakin bahwa sekarang Voldemort tahu bahwa kau adalah saudara kembar dari Peter Pettigrew. Dan aku yakin Voldemort pun sedang mengincarmu. Saat Voldemort menghancurkan rumahmu, kami tak menemukan kau di sana. Yang kami temukan hanyalah si kecil Harry. Aku merasa sangat bersalah kepadamu. Andai ada yang bisa membalas semua kesalahanku.”

Aku merasa sang waktu berhenti. Aku merasa semua terfokus padaku dan Professor Dumbledore. Aku menatap Professor Dumbledore, begitu pula sebalikknya. Tenggorokkanku kering. Aku memaksakan untuk mengeluarkan suara. “Buktikan.” Hanya itu yang bisa aku katakan.

“Well, aku telah menelusuri bahwa tongkatmu dan harry memiliki panjang yang sama dan terbuat dari kayu yang sama. Intinya berbeda tapi saling terkait. Kalau tongkat Harry dan Voldemort terkait karena memiliki inti yang sama, tongkatmu dan tongkat Harry terkait karena memiliki inti yang bisa diistilahkan saling tarik menarik.” Jelas Dumbledore. Melihat raut muka tidak kepuasaanku Dumbledore melanjutkan. “Begini saja..” Dumbledore mengelurkan botol kecil dari kantong bajunya. “Ini adalah veritaserum. Kau pasti pernah mendengarnya kan?” aku mengangguk. Aku pernah melihat veritaserum dan aku yakin bahwa cairan yang dipegang Dumbledore adalah veritaserum. Lalu Dumbledore menuangkan cairan itu ke Air di meja di depannya. “Aku telah menelusuri bahwa yang menemukanmu adalah salah satu suster di sini. Bagaimana kalau kita panggil dia?”

Lalu pintu ruangan itu terbuka. “Apakah anda memanggil saya Professor?” Ternyata itu Suster Ruby.

“Ahh. Ruby, masuklah! Sudah lama kita tidak bertemu bukan? Bagaimana kalau kau minum terlebih dahulu.” Dumbledore menawarkan air yang berisi veritaserum kepada Suster Ruby. Suster Ruby lalu duduk di hadapan Professor Dumbledore dan dengan sedikit ragu-ragu meminum air tersebut.

“Nahh, bisa kau jelaskan kepada Violet tentang apa yang terjadi saat Voldemort menyerang rumah keluarga Potter?” Tanya Dumbledore.

“Aku sedang berada di Godric’s Hollow saat itu untuk menjenguk adikku. Saat setelah Voldemort menghancurkan rumah keluarga Potter, aku melihat rumah tersebut. Samar-samar aku mendengar tangis bayi. Saat aku mencari-cari ternyata ada bayi perempuan di sana. Lalu aku bawa kemari, tempat kerjaku. Bayi itu adalah Violet.” Jelas Suster Ruby. Aku menatap kosong ke arahnya. Rasanya seperti semua dunia runtuh.

“Cukup Ruby. Kau bisa pergi meninggalkan kami.” Ucap Dumbledore dengan senyum ramah. Lalu Suster Ruby meninggalkan ruangan ini. “Bagaimana? Sebenarnya ada satu bukti lagi. Aku tahu kau pasti masih menyimpannya, yaitu kalung bertuliskan Violet.”

Aku menutup mataku. Semua perasaan berkecamuk di dadaku. Terkejut, sedih, kecewa, marah, iri, kesal, dan rasa dendam. Aku merasakan tetes air mata mengalir di pipiku. Rasanya aku ingin berteriak. Tapi aku yakin teriakku tak akan cukup untuk menghilangkan semua perasaan ini. Aku membuka mataku dan beberapa bulir air mata jatuh kembali.

“Bagaimana mungkin ini terjadi?” Isakku. Dumbledore menatapku melewati kacamatanya. Aku melihat rasa iba pada kedua bola matanya.

“Aku rasa kau perlu menenangkan dirimu untuk sementara waktu.” Dumbledore menepuk halus punggungku. Dan membantuku bangkit berdiri. “Sampai ketemu saat di Hogwarts Violet.” Dumbledore tersenyum ramah dan pergi dari ruangan. Aku berlari ke arah kamarku. Sesampainya di kamar, aku langsung berbaring di kasurku dan memuntahkan semua tangisku yang aku coba tahan sebelumnya diikuti tatapan bingung Folda.


*Death Eater POV’S*

“TU-tuanku.. Ada yang ingin hamba sampaikan..”

“Ahhh, Wormtail. Ada berita apa?”

“Hamba baru teringat perihal Potter Tuanku.”

“Ceritakan.”

“Ternyata Harry Potter memiliki saudara kembar..”

Mata Voldemort terbelalak. Ia mengacungkan tongkatnya. “Crucio.” Lalu muncul warna merah pada tongkat Voldemort mengenai tepat ke Wormtail. Di hadapannya Wormtail menggeram kesakitan. “Kenapa baru kau bilang sekarang Wormtail?” Wormtail semakin kesakitan. Di hentikan kutukan Cruciatus oleh  Voldemort lalu Wormtail tidak merasa kesakitan kembali.

“Sa-saya baru ingat Tuanku. Maafkan Hambamu yang setia ini!”

“Kau memang pengikutku yang tidak berguna! Kuperintahkan kau mencari kembaran Harry dan bunuh dia!


*Violet POV’S*

Akhirnya aku mendapatkan kompartemen yang kosong. Folda pasti sedang bersama teman-temannya. Aku memang biasa sendiri. Lalu tiba-tiba pintu kompartemenku terbuka.

“Err... Maaf bolehkah kami duduk di sini?” ternyata itu Hermione , ron, dan... Harry. Aku menatap mereka dengan gugup. Aku tidak menyangka akan kebetulan seperti ini. Mereka terdiam menunggu jawabanku. Aku menghembuskan nafas dengan gigi tertutup sehingga mereka tak akan mendengar.

“Tentu saja. Senang akhirnya aku mendapatkan teman” Aku tersenyum ramah kepada mereka bertiga.

“Hah akhirnya. Terima kasih ya. Ah sepertinya aku kenal kau. Kau Violet Vyon kan? Dari Hufflepuff kalau tak salah?” Tanya Hermione.

Aku menganggukkan kepalaku. Aku lihat Harry hanya memperhatikanku dengan ekspresi aneh.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Harry.

Aku menahan nafasku. “Tidak aku rasa.”

“Ahh aku ingat. Kau adalah .... ahh lupakan saja. Mungkin sebuah kebetulan.” Harry tersenyum simple dan duduk di samping Ron yang duduk di hadapanku.

Perasaan-perasaan itu kembali muncul di benakku. Tapi aku tahu alasan dari setiap perasaanku. Aku marah kepada setiap orang yang membiarkan aku di rawat oleh panti asuhan sedangkan Harry mendapatkan perhatian seluruh dunia. Aku kecewa karena pada hari dimana Voldemort membunuh orang tuaku, orang tuaku lebih mementingkan Harry daripada aku. Iri karena selama ini Harry selalu di nomor satukan. Bahagia karena akhirnya aku tahu kalau aku tak sendirian. Sedih karena saat aku mengetahui semuanya, keluargaku sudah berpisah-pisah dan berada dalam ancaman. Tapi lebih dari itu, saat aku melihat Harry, ada suatu perasaan yang sangat kuat yang muncul, yaitu rasa ingin melindungi. Aku ingin sekali melindungi Harry dari semua bahaya yang selama ini. Lalu tiba-tiba muncul rasa sayang ku kepada Harry. Rasanya seperti aku ingin memeluknya saat itu juga. Tapi aku harus memendam semua perasaan ini. aku alihkan pandanganku menatap keluar jendela.


*29 Juni 1997*

Dimana aku? tunggu bukankah ini pemakaman? Makam siapa di depanku ini? Bukankah ini makam kedua orang tua ku? Aku melihat ke segala arah. Tidak ada orang di sana. Aku berjalan mendekat ke arah makam tersebut. Aku mengusap makam itu. Aku tahu bahwa ini mimpi, tapi aku bisa merasakan bahwa aku menangis. Aku merasakan hembusan angin. Lalu aku melihat di belakang nisan tersebut ada seorang lelaki dan perempuan tersenyum hangat kepadaku. Aku tidak mengenal mereka. Aku menutup mataku berharap terbangun dari mimpi ini. Saat kubuka mataku, mereka berdua masih berada di sana.

“Akhirnya kami bisa melihat kau dewasa.” Ujar sang wanita.

“Kau sangat cantik sayang.” Ujar sang lelaki.

Aku membuka mulutku, tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku.

“Kau pasti tak mengenal kami. Maafkan kami tak pernah menjagamu dengan baik. Akibatnya kau harus hidup di panti asuhan seolah tidak mempunyai keluarga. Ini memang kesalahan kami.” Ucap sang wanita, lalu aku melihat setetes air mata jatuh dari mata hijaunya. Pada detik itu aku ingin berlari ke depannya dan menghapus air mata itu. Tapi tubuhku tak bisa digerakkan.

“Maafkan atas semua kesalahan kami. Sebagai orang tua kami merasa gagal merawat dan menjagamu dan Harry. Tapi terlewat dari semuanya, kami selalu menyayangimu Violet. Kau dan Harry. Kalian adalah segala hal terpenting yang pernah kami punya.” Ucap sang lelaki.

Aku merasakan mataku terus menerus mengeluarkan air mata. Jadi mereka orang tuaku? Ini adalah pertemuan kami yang pertama dan apakah akan menjadi yang terakhir?

“Kami akan selalu ada untuk menjagamu. Percayalah.”

Aku menutup mataku dan saat aku membuka aku sudah berada di atas tempat tidurku dengan air mata yang terus mengalir.


*Sorenya*

Aku lelah menyembunyikan semuanya dari Harry. Aku tidak peduli dengan perintah Dumbledore untuk merahasiakan semuanya dari Harry. Aku melihat Harry berada di gubuk dekat Hagrid. Aku mendatanginya.

“Boleh kita berbicara? Bedua saja.” Ucapku melirik ke arah Ron dan Hermione.

Ron dan Hermione saling berpandangan. Lalu Hermione menarik tangan Ron. Aku merasa aneh dengan ekspresi mereka. Seakan mereka tahu apa yang akan aku bicarakan dengan Harry. Setelah mereka pergi aku manatap Harry yang memasang muka... Aku tidak dapat menjelaskan ekspresi tersebut.

“Ceritakan.” Ucapnya dengan datar.

Aku tersenyum kecut. “Aku yakin kau tahu apa yang akan aku katakan, bukan kah begitu?”

Harry menatapku dengan muka datar lalu mendengus. “Hidup selalu tidak adil untukku.”

Aku mendekati Harry sehingga jarak kami hanya 2 langkah. “Untukmu? Kau kira hidupku bahagia dengan semua yang terjadi selama ini? Kau pikir aku senang tinggal di panti asuhan dan tidak pernah mengetahui identitas orang tuaku bahkan keluargaku? Kau pikir aku senang saat Dumbledore berkata aku mempunyai saudara kembar dan dia adalah The Boy Who Lived? Kau pikir aku senang mengetahui semua secara mendadak tanpa persiapan tanpa ada tanda-tanda? Kau pikir aku senang mengetahui bahwa selama ini aku sendirian dan kau Harry selalu bersama teman-temanmu dan saling menjaga? Dan kau pikir aku senang menampung semuanya sendiri dan  tidak membicarakannya kepada siapapun, menyimpan semua ini? Hidup pun tak adil buatku Harry.” Ledakku.

Harry menutup mata. Aku menunduk. Dan aku mendengar diriku sendiri terisak-isak. Akhirnya semua yang aku rasakan keluar. Selama 9 bulan aku menahan dan berusaha untuk kuat. Tapi akhirnya semuanya pecah. Aku merasakan sebuah tubuh memelukku. Aku menengadah dan melihat Harry memelukku seakan menenangkanku.

“Dan kau tahu apa yang tidak lucu Harry? Selama ini aku selalu berharap bisa menjagamu, tapi saat kau terlibat masalah aku hanya bisa berdiri melihatnya. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Aku bingung. Aku...”

“Terima kasih kau ingin menjagaku Kakak.” Sela Harry. “Kau lah yang aku butuhkan di saat-saat seperti ini. Seorang keluarga yang akan ada untukku” Harry melepas pelukannya. Ia tersenyum hangat kepadaku.

“Tunggu, jadi aku kakakmu?  Bagaimana kau tahu? Dumbledore tidak memberi tahuku.”

“Hagrid menceritakanku tadi. Ia tahu dari Dumbledore.”

Aku membuka mulutku karena terkejut. “Kau baru tahu semua ini tadi?”

Harry hanya mengangkat bahunya. “Setidaknya kita impas.” Ia tertawa kecil. “Matamu mengingatkanku kepada ayah.”

Aku tersenyum mendengarnya. “Matamu mengingatkan aku kepada ibu.” Jadi ini rasanya memiliki sebuah keluarga? Rasanya seperti rasa aman yang abadi. Kau tak akan pernah takut pada apapun, karena pasti keluargamu akan ada saat apapun. Saat aku melihat Harry, rasanya aku telah menemukan segala yang aku inginkan di dunia ini. Kehangatan keluarga.


*keesokkan harinya*

Aku sedang berada di pekarangan Hogwarts. Aku melihat langit berawan. Aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Dari kejauhan aku melihat Harry sedang mengejar Professor Snape. Harry terkena salah satu mantra Snape hingga ia terpental menjauh. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku lalu berlari menghampiri Harry.

“Stupefy.” Snape memantrai Harry lagi.

“Finite.” Aku menghentikan mantra Snape.

Snape memandangiku dengan ekspresi bingung. “Well, well, Violet? Apa urusanmu di sini?” Snape mengangkat alisnya.

“Menjauh dari saudaraku!” Teriakku. Lalu di belakang Snape muncul seorang lelaki gendut yang sangat lusuh.

“Kau saudara Harry?” Tanyanya.

“Yep, Aku Violet Potter. ada masalah?” Dengan sekali hentakkan tongkat, lelaki gendut itu membuat tubuhku kaku dan aku merasakan kakiku tidak menyentuh tanah.

“Kaulah yang aku cari-cari. Kau adalah saudara kembar dari bocah itu. Kau juga ancaman Dark Lord! Kau harus mati!”

“TIDAKKKK!!!” Aku mendengar Harry berteriak.

“Avada kedavra.” Dari tongkat lelaki itu muncul kilatan hijau dan terarah kepadaku.


*Harry POV’S*

Aku melihat tubuh Violet terangkat ke atas oleh Wormtail.

“Kaulah yang aku cari-cari. Kau adalah saudara kembar dari bocah itu. Kau juga ancaman Dark Lord! Kau harus mati!”

“TIDAKKKK!!!” Aku berteriak sekencang-kencangnya.

“Avada kedavra.” Dari tongkat Wormtail muncul kilatan hijau dan terarah tepat ke Violet. Tubuh Violet terpental menjauh. Aku mendekati tubuhnya, lalu aku menggenggam tangannya berharap di sana ada keajaiban. Tapi aku tidak merasakan denyut nadi. Mataku panas karena air mata dendam dan marah. Aku memutar tubuhku berjalan mendekati Wormtail dan Snape. Aku mengarahkan tongkatku ke Wormtail.

“Crucio!”

 kilatan merah itu tepat mengenai tubuh Wormtail. Ia menggeram kesakitan dan terjatuh di tanah. Aku melihat Snape mengarahkan tongkatnya kepadaku. Tapi dari langit aku lihat Buckbeak datang dan mengarahkan cakarnya ke arah Snape. Aku menghentikkan kutukanku. Aku lihat Snape dan Wormtail langsung berdisapparate. Aku berlari ke arah tubuh Violet yang sudah tak bernyawa. Dan saat itu tangisku pecah.

THAT DREAMS

aaaaaaaaaa gue mimpi orang itu, dia, dia, dia ahhhh aku bahkan ngk bisa nulis disini apa yang benar-benar tepat org itu lakukan!! .___________. 2 mimpi dan semuanya itu bener2 yang gue harapin selama ini. tapi yang paling berkesan tuh waktu  dia genggam tangan gue >< gue langsung meleleh saat itu juga! ._____________. tapi habis itu gue kebangun dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari normal, karena gue ngak mau terlalu berharap sama mimpi itu. gue ngak mau gara-gara mimpi itu gue jadi melayang-layang terlalu jauh. nanti kalau org itu sama cewek lain, gue bakal jatuh dari ketinggian itu dan gue ngak kebayang seberapa sakit rasanya itu.______________. tapi, tapi, semakin aku ingat mimpi itu, semakin aku pengen sama dia.__________. so what should i do???? asdfghjkl bgt sih!!!!

Kalian pasti pernahkan mimpi tentang cowok yang lo suka. trus dimimpi itu, cowok yang lo suka nembak lo, ngegenggam tangan lo. tahu kan gimana rasanya? dan gimana rasanya tahu kalau itu mimpi? cuma mimpi!! gue kasih penekanan lagi MIMPI!!!!!!!!!!!!!!!!!! 

gue emang ngak akan pernah pantes buat cowok itu! ngak akan pernah sampai kapan pun. dia itu terlalu baik buat gue. jadi semenjak mimpi itu gue berusaha kembali untuk ngilangin rasa itu ke dia yg sebelumnya (pas kelas 10) bisa gue ilangin.
Pray for me !!!!!

Wednesday, December 14, 2011

Fanfict 2 (part 4)


Aku menyantap makan siangku dengan terburu-buru. Terlalu terburu-buru.
Easy Alv! Kau tidak ingin tersedak kan?” Ucap Hest.
Aku menengadah melihat ke empat temanku yang lain. Lalu aku melemaskan posisi dudukku menjadi lebih santai. Ingin rasanya aku cerita apa yang terjadi saat di koridor bersama Lucie tadi. Tapi sesuatu menahanku untuk bercerita. Aku menatap Lucie, dan ia memasang ekspresi 'kamu-tau-bagaimana-sifat-mereka-aku-yakin-mereka-tidak-akan-bilang-pada-siapapun'. Aku menghela nafas.
“Well, aku mengalami kejadian buruk.” Aku mulai bercerita dengan muka masih bimbang.
Oh My Godness! Sisi dari mana yang kau lihat bahwa itu kabar buruk Alv? Itu unpredict moment!” Lucie mengoreksi, persis seperti mamaku.
“Okay mama! Ada sebuah kejadian yang membuatku menjadi gila, enough?” Aku menatap kesal ke arah Lucie. Ia hanya mengangkat alis memintaku melanjutkan.
“Kejadian apa? Ada hubungannya dengan kelas Sejarah Sihir nanti? Sungguh aku malas sekali dengan kelas itu! Membuatku ngantuk saja setelah makan siang ini! Kalian tau kan bahwa .....” Arina menatap ke arah kami karena kami semua -pastinya kecuali Luna yang terlihat sangat tertarik dengan keluhan Arina itu- yang memasang wajah 'c’mon-bukankah-harusnya-Alv-yang-bercerita'. Lalu Arina memasang senyum lugu. “... Maaf! Lanjutkan Alv!”
“Aku bertemu Draco di koridor menuju Aula Besar. Hanya itu.” Aku menceritakan dalam versi simple.
“Huh! Biar aku yang cerita.” Lucie mendengus kesal. “Kami bertemu Draco dan aku melihat -well, walau cuma sekilas- Draco melakukan gerakan seperti ingin mengejar kami tapi tidak jadi. Pasti ada sesuatu.”
“Dia hanya ingin mengejekku kembali.” Aku menegaskan kembali pendapatku.
“Tidak. Dia seperti ingin minta maaf padamu. C’mon Alv, biasanya kau berpikir positif kepada semua tingkah konyol Draco.” Lucie mengingatkan aku kembali.
“Dan biasanya kau suka berpikiran negatif kepada semua tingkah Draco.” Aku juga mengingatkan Lucie.
“Baiklah kita tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya.” Hest menengahi kami. Aku kembali menyantap makan siangku dengan normal. Ada sesuatu yang menganjal di dalam pikiranku. Selama aku mengenal Draco, dia tidak pernah menghampiri orang lain kecuali untuk hal yang penting. Lalu hal penting apa yang ada padaku? Aku tidak ingin berpikir lebih jauh. Aku menduga bahwa Lucie salah lihat. Mungkin yang ingin dihampiri Draco bukan kami.
“Aku mau bercerita padamu!”
 Lucie menarik tanganku ke salah satu sofa yang memperlihatkan pemandangan lapangan quidditch. Aku lihat Lucie sedang menimbang-nimbang akan memulai darimana. Dia terlihat sedikit cemas.
“Kau ragu akan menceritakan rahasiamu padaku?” Aku menebak-nebak.
“Tidak bukan itu. Hanya saja aku takut kau marah padaku.” Lucie menundukkan kepalanya seperti murid yang merasa bersalah.
“Kau saja belum cerita, bagaimana aku bisa marah?” Aku menenangkan Lucie.
“Well, sebelumnya aku mau bertanya. Jawab sejujur-jujurnya ya.” Aku mengangguk mengiyakan. “Sebenarnya apa hubunganmu dengan Josh?”
Aku kaget dengan pertanyaan Lucie. Selama ini semua sahabatku memang tak pernah menanyakan hubungan aku dengan Josh. Aku kira mereka mengerti. “Kami hanya teman sejak kecil.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja. Dia sudah seperti kakakku. Karena dia, well, dia sama sepertimu. Selalu saja mengatur-aturku di Hogwarts.”
“Aku serius Alv!”
“Aku juga. Memang ada apa sih tiba-tiba kau bertanya hal seperti ini? Sampai serius begini.” Aku mulai menebak-nebak kembali. Dan satu gagasan muncul dibenakku. “Jangan-jangan kau suka padanya?” Aku sendiri kaget dengan gagasanku sendiri.
Lucie mengangguk malu.
“TIDAK MUNGKIN!! SEJAK KAPAN? KOK BARU CERITA SEKARANG?” Aku berteriak. Lucie membekap mulutku agar aku diam. Lalu melihat sekeliling memastikan tidak ada yang mendengar. Setelah aku diam, dia melepaskan tangannya dari mulutku.
“Kau ingin membuat semua sekolah tahu ya?? Well, aku menyukainya sejak dia menghiburku karena kematian burung hantuku. Sejak saat itu aku melihat sisi lain Josh. Aku malu untuk bercerita padamu. Karena kamu dekat sekali dengan Josh.” Lucie berbicara dengan cepat.
“Well, okay. Lalu apa rencanamu?”
“Mengajaknya ke Magical Snow Party.”
“Kenapa hari ini kau baru akan mengajaknya? Bagaimana kalau dia sudah menerima ajakan wanita lain? Kau tahu kan dia punya banyak penggemar.” Aku bertanya kesal pada Lucie.
“Aku sudah bertanya pada teman satu kamarnya, ia bilang dia belum menerima satupun gadis di sekolah ini.”
Aku teringat kejadian di tangga saat aku menuju ruang guru. Apa yang ditunggu Josh sebenarnya?
“Lalu bagaimana caramu mengajaknya?”
Lalu Lucie memasang wajah memohon padaku. Seakan aku bidadari yang turun dari surga untuk mengabulkan permohonannya untuk membuat semua nilainya bagus. “Maka dari itu aku bilang padamu, Bantu aku!” Ia tersenyum berharap.
“ Wowowowo. Bagaimana caranya aku membantumu?”
Entah sebuah keajaiban atau kebetulan atau keajaiban bercampur kebetulan, tiba-tiba Josh turun dari tangga kamarnya dan masuk ke ruang santai. Ia melihat padaku dan menghampiriku. Aku menatap Lucie, ia terkejut dengan kebetulan-atau-keajaiban itu lalu memalingkan mukanya padaku dengan ekspresi berharap.
“Hai Vyn! Bagaimana dengan detensimu? Aku dengar kau mendapatkan tugas banyak dari Professor Snape?” Ejek Josh sembari menahan tawanya.
Aku berdiri dari sofa. “Huh! Kalau bukan karena ada hal penting, aku pasti sudah pergi dari sini sembari melemparmu dari jendela.” Aku memasang wajah kesal.
“Wooo easy Vyn. Hahahaha. Memang hal penting apa?”
Aku menatap Lucie. Ia bangun dari sofanya dan berdiri di belakangku. Aku memutar kepalaku menghadap Josh. “Kau belum menerima ajakan salah satu gadis disini?”
“Aku dengar pun kau belum ada pasangan untuk pergi ke Magical Snow Party. Saat di tangga itu aku serius Vyn!” Josh memasang wajah seriusnya.
Aku menoleh Ke arah Lucie yang memasang wajah bingung. “Well, maaf aku harus menolakmu lagi kalau begitu, karena ...” Aku menghela nafas. Ternyata susah menjadi Mak Comblang. “Karena Lucie ingin aku meminta padamu agar kau pergi dengan dia ke Magical Snow Party.”
Josh mengerutkan alisnya. “Siapa Lucie?”
Aku memasang wajah kesalku. Tapi Josh tidak bercanda. Lalu aku menggerakkan kepalaku ke arah Lucie. Josh memiringkan kepalanya agar bisa melihat Lucie yang tertutup badanku. “Oh! Si gadis burung hantu. Bagaimana? Sudah dapat pengganti burung hantumu itu?”
Aku lihat Lucie menjadi gugup. “A-aku be-belum beli penggantinya.” Gagap Lucie.
“Bagaimana?” aku mengangkat alisnya. Josh terlihat ragu dan memasang ekspresi 'kau-serius?-maksudku-kenapa-kau-membantunya'. Dan aku memasang wajah 'kapan-aku-tak-serius?-dia-memintaku-untuk-bilang-padamu'. Josh kembali bingung, lalu aku memasang wajah 'C’mon-terima-saja'.
Josh menghela nafas. “Baiklah kalau kau begitu...” Josh melihat ke arah Lucie. “Sampai bertemu saat Magical Snow Party.” Ia memasang senyum ramah dan pergi keluar asrama.
Di belakang aku merasakan Lucie jatuh terduduk di sofa. Aku memutar tubuhku menatapnya. Ia terlihat lega dan... err senang. Aku harusnya ikut merasakan senang. Tapi kenapa aku merasakan hal yang berbeda?
Lucie memberikan senyum bahagianya padaku. “Terima kasih Alv!!!” Ia lalu memelukku dengan hangat.
*Well, setidaknya ini setimpal*
Aku balas memeluknya  merasakan kebahagiaan Lucie.
*Josh’s POV*
Aku bingung dengan sifat Vyn tadi. Dia menjodohkan aku dengan temannya. Sungguh diluar pikiranku. Banyak sekali penggemarku yang minta dijodohkan lewat Vyn. Tapi Vyn selalu menolakknya. Mungkin si gadis burung hantu ini sahabatnya. Well, kalau ini membantu Vyn, akan aku lakukan.
Aku masuk ke kamarku kembali setelah pergi menyampaikan tugas  yang diberikan Professor Flitwick.
“Hey Bro! Kau mendapatkan surat ajakan lagi dari gadis Slytherin.” Michael melempar sebuah surat padaku.
“Apakah di dalamnya ada jebakan lagi?” aku tersenyum jahil melihat surat itu.
“Kami sudah menguji cobanya pada tikus. Dan ternyata gadis ini tidak semaniak gadis Slytherin sebelumnya.” Terry tertawa.
“Tapi aku masih bingung. Bagaimana dia mendapatkan Ansorsia? Itukan ilegal dijual-belikan.” Anthony mengerutkan keningnya. Ansorsia adalah Parfum yang membuat si korban akan menerima semua ajakan yang ditawari dalam jangka waktu 8 menit.
“Untung saja aku menyadarinya. Kau terlihat tersenyum-senyum dan bilang akan pergi dengan gadis itu. Lalu aku berpikir ‘Josh dengan Slytherin? Pasti ada yang salah’. Lalu aku ingat tentang Ansorsia. Aku tau kalau efek Ansorsia akan menghilang jika si korban disadarkan. Maaf soal pukulan itu kawan!” Neo memasang wajah bangga sekaligus maaf kepadaku.
Aku menggerakkan rahangku. Pukulan Neo sangat keras, hingga rasa sakitnya masih terasa. Tapi setidaknya dia berniat baik. “Yasudahlah, lagi pula aku sudah menerima ajakan salah satu gadis ravenclaw.” Aku melemparkan surat itu dan berbaring di kasurku.
“Hah?! Apakah Alvyna telah menerima ajakanmu?” Terry Boot bertanya.
“Tidak. Salah satu temannya mengajakku melalui Vyn. Vyn memamaksaku, sehingga aku tak bisa menolak.” Aku mengangkat bahu, tak terlalu peduli lagi.
“Siapa memang temannya itu?” tanya Michael Corner.
“Ummm kalau tak salah Vyn memanggilnya Lucie.” Jawabku.
Mereka berempat langsung memasang wajah terkejut. “Maksudmu Luciana Rasgrin?” Tanya Anthony Goldstein.
“Aku rasa itu dia.” Aku bingung dengan tatapan mereka. “Ada apa sih?”
For God’s sake! Kau tidak tau siapa dia?? Dia adalah wanita paling cantik, pintar, dan baik di sekolah ini! Banyak laki-laki yang mempersembahkan nyawanya hanya untuk sekedar berkencan dengan dia! Dan kau dengan mudah bisa bersamanya ke Magical Snow Party! Betapa beruntungnya kau!” jelas Neolitan Marstein. Aku tidak peduli dengan penjelasan Neo tentang keistimewaan si gadis burung hantu itu.
“Well, kau jauh lebih cocok pergi dengannya dari pada dengan Alvyna. Kalian sama-sama populer, pintar, dan menawan. Alvyna 180 derajat berbeda dengan Luciana. Walau sikap judesnya kadang-kadang membuat aku penasaran” Ujar Anthony.
Aku langsung menatap sinis ke arah Anthony. “Jangan pernah mengejek Vyn!”
Easy Bro!” Michael melemparkan bantalnya yang langsung aku tangkis menunjukkan aku tidak bercanda. “Kenapa kau sangat perhatian dengan Alvyna sih? Kau juga mengajaknya ke Magical Snow Party, yang dengan bodohnya malah dia tolak. Padahal banyak sekali wanita yang ingin pergi ke sana denganmu.” Aku setuju dengan pemikiran Michael. Aku sendiri bingung kenapa aku begitu perhatian kepada Vyn.
“Well, Vyn sudah kuanggap adikku sendiri. Aku hanya ingin selalu menjaganya.” Aku menerangkan.
“Aku kira tidak se-simple itu Josh.” Ucap Neo diikuti anggukkan temanku yang lainnya.
“Huh! Aku sendiri bingung.” Aku menutup mata berdoa yang terbaik untuk Vyn.

Friday, December 9, 2011

Fanfict 2 (Part 3)

*Draco’s POV*
“Hahahahaha kejadian tadi siang memang sangat lucu. Berani juga wanita itu mengajak dirimu. Padahalkan sudah banyak korban yang menjadi kekejamanmu, Bos!” tawa Vincent.
“Entahlah.” Keluhku.
“Draco, Kamu kenapa? sakit ya?..” Pansy menaruh tangannya di dahiku, aku menghindar.
“Aku tidak sakit. Ini serius. Menurutku kita mengerjainya terlalu berlebihan.” Ucapku.
“C’mon Draco. Sejak kapan kau menjadi kasian pada penggemarmu?” Ucap Blaise sembari memukul pelan pudakku.
“Sejak aku lihat wanita itu dibawa pergi oleh si tolol Josh.” Ucapku dengan kesal.
“Kau cemburu? Kau suka wanita itu? Draco kau yakin tidak sakit?” Ucap Pansy dengan cemas.
“Kau berisik sekali Pansy! Bukan karena aku suka pada wanita itu, tapi aku enggak suka Josh membantu wanita itu!” aku lempar bulatan perkames ke perapian.
“Lho banyak sekali penggemarmu yang Josh rebut kan? Ini bukan yang pertama kali!” Pansy menatapku seakan aku “sakit”.
“Yang satu ini beda! Percayalah padaku.” Ucapku sedikit menggeram.
“Lalu apa yang akan kau lakukan bos?” Ucap Vincent acuh.
“Kalau aku tahu apa yang akan aku lakukan, aku tidak akan tanya ke kalian bodoh! Berilah saran!” bentakku kesal. Aku berdiri dan mulai berjalan-jalan di sekitar perapian.
“Rebut saja gadis itu.” Saran Blaise.
“Tunggu!” Pansy berdiri dari kursi malasnya. “Aku rasa itu bukan ide bagus. Maksudku, kau bermasalah dengan Josh, kenapa kau malah melampiaskannya kepada wanita itu? Cukup sudah. Kau terlalu berlebihan sekarang, Draco!” Kesal Pansy.
“Aku ingin memperlihatkan Josh bahwa aku lebih berkuasa daripada dia. Aku rasa gadis itu berarti untuk Josh. Ide bagus Blaise!” ucapku memberikan senyum bngga padanya. Blaise tersenyum malu karena dipuji.
“Percayalah kau buang-buang waktu!” ujar Pansy lalu melempar pandangan kesal kepada Blaise yang sudah memberiku saran itu dan pergi menuruni tangga.
“Bagaimana caramu merebut gadis itu Bos?” Tanya Vincent.
“Itu masalah gampang.” Aku tersenyum licik membayangkannya.
Ω
*Alvyna’s POV*
“Taruh tanganmu di kedua lututmu. Setelah itu tarik nafas panjang secara perlahan....”
DUAKKK..
Semua mata langsung menatapku, tapi aku mengabaikannya. Aku langsung menjatuhkan tubuhku di atas kasur dan membenamkan kepalaku di bantal.
Are you alright honey?” Tanya Lucie dengan nada cemas.
“Pasti dapat amukan Professor Snape. Iya kan?” Ujar Hest sembari tertawa jail.
Aku diam.
“Well, sebaiknya kita jangan ganggu dia. Harinya sedang buruk.” Aku mendengar Lucie berbicara kepada mereka berempat sedikit berbisik sambil menutup pintu. Aku pusing, mual, dan lelah. Rasanya seperti badanku akan terbelah menjadi dua. It’s the worst day ever!!!!
Ω
“Aku mengerti bagaimana perasaanmu kemarin? Well aku tidak tahu pasti, tapi kau pati tidak ingin dihukum lagi kan Alv?”
“5 menit Lucie! Aku janji 5 menit lagi!”
“Okay. Kalau dalam 5 menit kau masih tidak mau bangun. Aku akan menyeretmu. Aku serius! Butuh waktu seharian untuk mengerjakan tugas herbologi ini!” Ujar Lucie.
“Baik Mama!!” ucapku dengan lelah.
“Alv sudah aku bilang berapa kali. Jangan panggil aku Mama! Aku bukan Mama mu!”
“Tapi kau seperti Mama ku tahu!” aku menengadah muka menatap Lucie sambil menjulurkan lidah.
“Apanya padaku yang mirip dengan Mama mu?” ia melentangkan tangannya.
“Omelanmu.” Ucapku simple, lalu kembali ke posisi tidurku.
“Oh Alv! Aku hanya tidak mau kau terlibat dalam masalah. Orang tua mu menitipkan kau padaku agar kau tidak menimbulkan masalah-masalah. Maka dari itu aku selalu memberitahumu untuk melakukan ini dan itu. Karena selain alasan Orang Tuamu aku juga peduli padamu. Kau sudah seperti saudara perempuan bagiku. Kau tau bahwa aku tidak punya saudara. Kau bahkan sudah lebih dari sahabat bagiku..”
I’m already wake up!” aku bangkit dari kasurku, tidak ingin mendengar celotehannya lagi. Aku menengok ke arah Lucie, “Asal kau tau. Sekarang kau bertambah mirip dengan Mama ku.” Lucie tersenyum penuh kemenangan.
Ω
“Kau yakin ini tugas yang kita dapat?” aku melihat bertumpuk-tumpuk buku di atas meja tulis di Ruang santai Ravenclaw. Arina mengangguk yakin. Dia pun sedang mengerjakan tugas herbologi itu.
Aku menempati salah satu meja tulis di sana dan mengeluarkan beberapa perkamen dan alat tulisku.
“Apa detensimu Alvy?” tanya Arina tanpa menoleh padaku, terlalu sibuk membuat goresan-goresan di atas perkamennya.
“Membicarakannya aku malas.” ucapku sesinis mungkin.
“Aku akan membantu kalau bisa kok.” Arina menoleh padaku dan memberikan senyum terbaiknya. Arina memang muggle-born paling baik yang aku kenal.
“Well, aku mendapatkan tambahan tugas. Dari Professor Vector, aku ditugasi menulis biografi salah satu arithmancher kesukaanku. Dan isinyanya harus selengkap-lengkapnya...”
“Tidak terlalu buruk.” Arina menyela sembari mengangkat bahu.
“Tapi dari Professor Snape lah yang membuat aku depresi! Ia menyuruhku memilih salah satu bahan dari ramuan Sleeping Draught dan menjelaskannya satu perkamen penuh! Apa saja yang akan aku tulis pada perkamen itu?” Aku memukul meja frustasi.
Arina menoleh prihatin padaku. “Aku sudah berjanji akan membantumu kan. Tenag saja.” Ia tersenyum tulus padaku. Aku membalas senyumannya, lalu fokus pada tugas herbologiku.
Ω
*sehari sebelum Magical Snow Party*
“Aku masih terkejut bahwa aku masih hidup setelah berjuang mengerjakan tugas-tugas sialan itu!”
“Kau berlebihan Alv!” ejek Lucie. Kami dalam perjalanan ke Aula Besar untuk makan siang setelah mengikuti pelajaran ramuan. “Oh ya, dengan siapa kau akan datang ke Magical Snow Party Alv?”
No one.” Ucapku singkat.
“Kau yakin? Kau tidak akan berniat akan mengurung diri di kamar kan?”
“Yap itu niat awalku. Well, How about you then? I know there’s much guys wanted to go to Magical Snow Party with you. Have u take one guy?” aku mengangkat alis, menggoda Lucie. Dia adalah salah satu murid wanita yang terkenal di Hogwarts. Selain kepandaian dalam pelajaran, dia juga pandai bergaul, dan juga memiliki paras yang sangat cantik. Dia memang gadis yang sempurna. Banyak sekali surat cinta yang ia dapat semenjak masuk Hogwarts. Dari senior sampai junior. Dia memang gadis yang beruntung dan dia sahabatku!
Not yet honey.” Ia memasang ekspresi ‘itu-tidak-masalah-karena-itu-bukan-tugas-yang-harus-dikumpulkan-hari-ini-kan’. “Tapi aku ingin cerita sesuatu padamu.” Lucie tersenyum lebar kepadaku.
“Well, aku tidak ingin mendengar bahwa kau menemukan buku bagus dan memintaku untuk menemanimu membaca di perpustakan karena buku itu tidak bisa dibawa ke kamar.”
“Bukan itu. Ini masalah ....... ALV!! Lihat itu Draco!”
Aku refleks melihat ke arah Lucie melihat. Di sana Draco sedang mengobrol dengan teman satu asramanya dan berjalan ke arah sini. Aku langsung menarik tangan Lucie dan pergi ke koridor sebelah kanan kami. Pikiran ku kacau dan aku terus menarik tangan Lucie entah kemana kaki ku membawa.
“Alv jangan tarik keras-keras tanganku sakit! You know what, tadi aku sempat melihat Draco menyadari keberadaan kita dan melakukan sebuah gerakan seperti ingin mengejar kita tapi tidak jadi!” Lucie menahan tangannya agar aku berhenti dan mendengarkan.
“Mungkin dia ingin mengejekku lagi. Sudah aku mau makan!”
Ω


Sunday, December 4, 2011

Fanfict 2 (part 2)


Aku yakin matanya mempunyai bius yang bisa membuat semua orang akan langsung tertuju padanya. Istirahat makan siangku habis hanya untuk menatapnya. Sedangkan dia disana sedang bermain dengan ketiga temannya, bermain entah apapun itu,  aku tak peduli dengan mainannya, karena aku sibuk dengan dirinya saja.
*Ahh bodoh sekali kau vyn! Dia slytherin! Kau ravenclaw! Ingat itu! Lagi pula dia …..*
Hampir saja aku membenarkan perkataan Josh bahwa Draco – prefek slytherin - adalah brandal tidak tau diri.
Aku membereskan semua bukuku yang hanya aku pakai untuk kedok dalam pengintaianku. Well, aku harus melintasi taman dan melewati Draco untuk segera masuk ke kelas arithmancy. Saat aku menoleh kepadanya ….
*Oh tidak! Dia berjalan ke sini!*
Aku berhenti membereskan bukuku. Tanpa sadar aku menahan nafas. Tubuhku bereaksi tanpa kendaliku. Aku menatap sosoknya melintasi taman. Dan mata kami bertemu satu sama lain. Debar jantungku tidak terkendali. Dunia seakan berhenti bergerak. Rasanya seperti semua murid di sini focus hanya padaku.
“Hai Draco!” aku menyapanya – di luar kendaliku - dengan suara serak saat dia tepat dihadapanku. Aku mencoba membuat senyum ramah dan gagal.
“Apa aku kenal kamu?” ucapnya dengan senyum sinis khasnya.
“Beraninya kau menyapa Draco!” sergah Pansy.
“Mana sopan satunmu Pansy? Kau tidak boleh memarahi mereka-yang-menyapa!” ucap draco. “ada yang bisa aku bantu?” dia tersenyum.
Mataku berkunang-kunang. Dia tersenyum padaku! Senyumnya bisa membuatku lupa cara untuk bernapas. Apa yang harus aku jawab?
“Kamu mau datang ke Magical Snow Party denganku?” semburku tanpa bisa dicegah dan disambut dengan keheningan total. Ingin rasanya aku ditelan bulat-bulat oleh bumi saat ini juga.
“hahahahahahahahahahaha….” Tawa keras mereka berempat membahana di sekitar taman.
“Dia serius Draco! Lihat ekspresinya dia sekarang! Hahahahaha” tawa Vincent.
“Well, siapa nama kamu?” Tanya Draco.
“Al-vyn-a.” Jawabku dengan terbata-bata.
“Namamu itu sulit diucapkan! Al-pin-a? A-lpen-a? Terserah. Yang terpenting – dan haru kau catat - aku ngak mungkin pergi kemana-mana dengan seorang Gryffindor, Hufflepuff, apalagi Ravenclaw. Ke acara pesta dansa pula. Lebih baik aku mengurung diri di asrama. Hahahaha” ejek Draco diikuti tawa keras koloninya.
Semua mata sekarang tertuju padaku. Semua darahku sepertinya sudah berada di kepalaku, karna aku merasa mukaku sudah berubah warna menjadi merah terang. Tanpa berkata apapun lagi, aku pergi meninggalkan mereka berempat menuju kelas arithmancy, tujuanku sebelumnya. Tanpa bisa ditahan 1 bulir air mata turun dari pelupuk mataku diikuti yang lainnya. Aku menunduk malu diiringi komentar-komentar setiap murid yang aku lewati. Sulit menjelaskan perasaanku saat ini. Kecewa mendominasi segalanya. aku tahu sejak dulu bagaimana sikap Draco sebenarnya, aku tahu cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi, dan aku tahu aku akan merasakan perasaan ini kapan saja sebagai resikonya. Tapi tetap saja aku belum siap dengan yang akan terjadi.
Aku mempercepat langkah. Aku tak tahu  kemana langkahku membawa. Jalan menuju ke kelas arithmancy kabur dipikiranku. Sampai diantara suara-suara yang berkomentar, muncul suara yang aku kenal. Josh. Aku menengadah kepala yang langsung disambut sosok tegap dan gagah tersebut. Raut mukanya yang lembut itu mempunyai daya tarik magnetik terhadap kaum hawa. Banyak murid wanita Hogwarts yang berlomba-lomba untuk mendapatkanya, bahkan mereka yang berasrama di Slytherin. Kepopuleran Josh hampir sebanding dengan Draco yang satu angkatan dengannya.
Josh lalu menarikku entah kemana, seiring dengan mengalirnya air mataku…..


“Kau wanita paling berani yang aku kenal.” Komentar Josh dengan tatapan takjub.
“Berisik! Kau tidak tau apa yang aku rasakan!” aku mencoba menahan air mata yang akan keluar lagi.
“Tenang aja. Banyak wanita yang mengalami nasib yang sama denganmu. Mengajak Draco ke Magical Snow Party.” Ucap Josh.
Magical Snow Party adalah acara yang Professor Dumbledore adakan untuk menyambut musim dingin setiap tahun(selain Yule Ball tentunya yang hanya diadakan saat Turnamen Triwizard). Ia merasa bahwa sebelum merasakan kedinginan, kita harus berbagi kehangatan ke sesama murid Hogwarts. Maka diadakannya Magical Snow Party. Untuk datang kita harus berpasangan, dan acaranya berupa pesta dansa pada umumnya.
“Apakah hasilnya separah aku?”
“Well, kamu yang terparah sih menurutku.” ujarnya dengan senyum mengejek. Ingin rasanya mengubah Josh saat itu menjadi kayu, lalu aku lemparkan ke perapian.
“Dasar rubah! Kamu tuh memperburuk suasana tau!” amukku lalu berjalan menuju ke kamar. Hanya ada aku didalam kamar itu. Tentu saja Arina, Lucie, Hest, dan Luna berada dalam kelas, sekarangkan masih jam pelajaran. Aku berbaring diatas kasurku,  memikirkan semua yang terjadi tadi dan kembali meneteskan air mata dalam diam.


Aku membuka mataku. Sinar jingga menerobos masuk ke kamarku melalui jendela yang terbuka. Aku pasti terlalu lelah menangis sampai tertidur. Teman-teman sekamarku pun belum kunjung berdatangan. 2 kelas yang aku lewati tanpa keterangan. Arithmancy dan ramuan. Sepertinya aku akan ada janji bertemu dengan Professor Flitwick nanti. Aku menghela nafas panjang. Tiba-tiba pintu kamar terbuka ….
“Alvy!!!!!!!! Kamu baik-baik saja?? Kamu tau beredar banyak kabar tidak baik tentangmu selama kelas ramuan dan aku khawatir sekali! Sesudah kelas selesai, aku langsung lari kemari. Murid-murid Slytherin itu tidak berhentinya berbicara tentang kamu! Aku khawatir sekali!!". Well, yang baru masuk ini bernama Arina Retur. Dia salah satu sahabatku yang sangat emosional. Ayah dan ibunya adalah seorang muggle – yang pastinya Arina adalah Muggle-Born-. Saat aku tau harus berbagi kamar denganya, aku sangat kesal (well, sebagai penggemar Slytherin, aku kurang suka dengan Muggle-Born). Tapi ternyata Arina adalah teman yang ramah walau ia selalu berlebihan. Penilaianku terhadap muggle-born membaik setelah bertemu dengannya.
“Tenang Arina. Bukan kau saja yang khawatir, tapi aku juga!” ucap Hest yang masuk ke dalam kamar dan melemparkan buku-bukunya ke kasurnya. Mahesta Adiolla. Dia yang paling Tomboy diantara kami berlima. Sikap cueknya membuat aku bertanya-tanya kenapa dia tidak dimasukkan ke dalam slytherin walau otaknya memang cukup encer untuk murid ravenclaw.
“Hest, Arina, tak bisakah kalian mengganti “aku” dengan “kita”?” ujar Lucie yang masuk diikuti Luna di belakangnya. Luciana Rasgrin. Dialah yang paling bijak diantara kami dan merupakan pribadi “ravenclaw” yang sebenarnya. Dia cerdas, pembawaan yang santai, tapi sangat peduli dengan teman. Banyak lelaki di Hogwarts yang tergila-gila padanya. Lucie selalu menjadi tempat favoritku untuk menceritakan segala hal.
Dan yang terakhir Luna Lovegood. Well, aku tak harus menjelaskannya kepada kalian kan?
“Bisakah kalian cerita padaku satu persatu? Aku bingung harus dengar yang mana!” ucapku sembari mengubah posisiku menjadi duduk.
“Emelda menyebarkan gosip kau tlah ditolak mentah-mentah oleh Draco Malfoy untuk pergi ke  Magical Snow Party. “ jelas Lucie lalu duduk di tepi tempat tidurku memandang dengan tatapan 'sudah-aku-bilang-itu-bukan-tindakan-bagus'.
“Alvy, bilang pada kami semua itu bohong!! Kau tidak pernah bercerita pada kami bahwa kau suka pada Draco!! Padahal kau suka cerita tentang apa saja pada kami!” ucap Arina sambil mengguncang-guncang tubuhku.
“Aku rasa semua itu tidak bohong….” Ucap Luna tiba-tiba sambil merapikan rambutnya yang ia kepang 2 tapi panjang sebelah.
“Luna benar dan selesai. Aku tak mau membicarakannya. Aku mau laporan ke Professor Flitwick tentang kebolosanku.” Kataku sembari turun dari kasurku dan keluar dari kamar. Di luar kamar aku bertemu dengan Josh yang sedang bermain dengan teman seangkatannya.
“Mau kemana Vyn?” Tanyanya.
“Bukan urusan kakak.” Balasku sedikit sinis dan memberi penekanan pada kata 'kakak'. Aku masih kesal dengan sikap Josh siang tadi. Aku berjalan menuruni tangga menuju ruang guru. Dibelakangku terdengar langkah mengikuti.
“Oke, maaf Vyn. Aku memang kelewatan bercanda tadi siang.” Ucap Josh.
“Bukan salahmu. Kau benar aku sedang sensitif belakangan ini.” Balasku.
“Itu juga candaan Vyn!” Josh mempercepat kakinya menuruni tangga.
“Kau memang lucu sekali Josh.” Aku juga mempercepat langkah kakiku, tapi Josh lebih cepat.
“Cobalah untuk dewasa dan dengarkan perkataan orang lain sebelum pergi.” Josh menghentikkan langkahku dengan menarik tanganku.
“Aku buru-buru Josh.” Aku berusaha melepaskan tangannya, tapi gagal.
“5 menit. Aku janji.”
“1 menit dari sekarang.”
“Apa? Jangan bercanda sekarang Alvyna!”
“56 detik lagi.”
Baiklah. Berhentilah meracau oke? Penolakkan Draco bukan akhir dari dunia kan? Masih banyak lelaki yang mau diajak ke pesta dansa itu olehmu!”
“Hmm…”
“Kau bisa pergi denganku kalau kau mau.”
“Oh bantuan yang menyenangkan. Tapi tidak, thanks.”
“Aku serius.”
“Aku juga. Lagipula bukannya banyak gadis yang memintamu pergi dengan mereka?”
Well, aku bisa menolak mereka kalau kau mau.” Katanya sambil mengangkat bahu.
“Pilih salah satu dan pergilah dengan mereka Josh. Aku enggak mau kau mengecewakan mereka hanya untuk aku. Aku tau aku terlihat hopeless sekarang. Tapi aku baik-baik saja. Lagipula aku tak suka dikasihani. Aku hargai petolonganmu, tapi aku lebih memilih tidur di asrama saja nanti. Well, satu menitmu sudah habis. Aku harus buru-buru ke professor flitwick. Bye.”
Lalu aku menuruni tangga tanpa menoleh ke belakang lagi.


Saturday, December 3, 2011

Fanfict 2 (part 1)



“Eh dia kenapa?”
“Kok nangis?”
“Biarkan lah! Paling masalah cinta! Lembek banget sih tuh cewek!”
“Kamu ngak apa-apa?”
Listrik di perutku akhirnya membuat kepalaku terangkat juga. Sejak tadi aku mendengar semua komentar murid-murid yang aku lewati. Dan hanya suara ini yang membuat aku menengadah.
“Rubah? Eh maksudku Kakak? Oh, aku ngak apa-apa kok kak” aku mencoba menyunggingkan sebuah senyum. Tapi gagal.
“Ikut aku” ia menarikku entah kemana.
Setelah berjalan menelusuri koridor-koridor yang entah kenapa menjadi asing dipikiranku, akhirnya aku mengenal koridor yang satu ini. Koridor menuju Asrama Ravenclaw. Asrama yang terletak di salah satu menara paling tinggi di Hogwarts ini  merupakan asramaku. Sampai sekarang aku masih bingung kenapa aku terpilih ke ravenclaw. Aku sangat mengagumi Asrama Slytherin, tapi topi itu bilang aku tidak seburuk yang aku pikirkan. Apa yang dia tau tentang aku? dasar topi kusut berlubang!
“Sudah aku bilang sebelumnya bahwa itu tindakan bodoh!”
Aku tersadar dari lamunanku. “Ma-maaf” gagapku. 
Kami akhirnya masuk ke dalam asrama. Dia lalu membawaku ke salah satu sofa di dekat jendela dengan pemandangan hutan terlarang. Untungnya tidak ada murid yang berada di situ.
“Kenapa kau masih melakukannya padahal sudah aku larang?”
“Aku tidak tahu. Kami berpapasan dan tiba-tiba semua kalimat itu keluar.” Ucapku setengah berbisik. Air mataku hampir turun kembali saat mengingat hal itu.
“Alvyna Jean Sparrow! Sejak kapan kau menjadi cengeng seperti itu?” bentaknya.
Aku tersentak melihatnya membentakku. “Walau aku adalah gadis yang kuat, bukan berarti aku ngak boleh nangis kan?” balasku membentak.
Dia terkesiap. Lalu memasang senyum itu.”Huh. Itu Alvyna yang aku kenal. Kamu memang gadis kuat, tapi kamu ngak pantes nangis tahu!” lalu dia mengusap pelan poniku.
Aku menjauhkan tangannya dari kepalaku. “Kau tau aku ngak suka diperlakukan seperti itu! Apa hakmu memberantakkan poniku?”
“Saat di Koridor tadi ku memanggilku dengan sebutan “kakak” sekarang mana sopan satun mu?” ucapnya sambil menjulurkan lidah.
“RUBAH!!!!!!!!”
Well, Dia sebenarnya seniorku. Joshephin Waren Animo. Anak tunggal dari keluarga Animo. Animo berasal dari kata animagus. Yep dia adalah seorang animagus – rubah tepatnya - yang sudah terdaftar di Kementrian Sihir. Bagaimana dia bisa menjadi seorang animagus? Itu adalah gen. Leluhurnya semua adalah animagus. Well, aku tahu untuk menjadi animagus kita harus belajar atau berlatih. Tapi beda dengan Josh – panggilannya – dan keluarganya. Mereka adalah keturunan asli Falco Aesalon. Mereka percaya sebelum meninggal, Falco menggunakan sihir luar biasa yang membuat semua keturunannya menjadi animagus tanpa harus berlatih.
Kami adalah teman kecil yang sangat akrab. Dia beda satu tahun denganku. Aku pada tahun ke 4 di Hogwarts, sedangkan dia tahun ke 5 nya. Dan dialah yang terpilih menjadi prefek. Maka dari itu, aku harus memanggilnya kakak di depan semua murid. Aku tentunya tidak mau dibilang junior yang tidak tahu diri.
Aku adalah anak tunggal dari keluarga Sparrow. Di Godric’s Hollow aku terkenal dengan kebandelannya. Aku memuja segala hal tentang slytherin, dan aku bermuram durja saat tak bisa masuk asrama favoritku. Lain hal dengan Josh, dia memang berencana masuk ravenclaw sejak kecil. Aku dan Josh tinggal bersebelahan di Godric's Hollow. Orang tuaku dengan orang tuanya adalah sahabat baik. Mereka adalah auror. Kami sering berlibur bersama.
“Aku mau dengar ceritanya dari versi mu!” ucapnya dengan resmi, seperti saat dia bertanya kepada murid Ravenclaw alasan mereka keluar tengah malam.
“Aku tidak ..... Wait!! Versi ku? MEMANG ADA BERAPA VERSI???” teriakku.
“Well, teman-temanku yang melihat adegan itu langsung lapor kepadaku dengan versi mereka tentunya.” ucapnya sembari mengangkat bahu.
“AAAAAHH!! Aku bisa mati karena malu!!” raungku.
“Hey hey, tenang saja! Sejak kapan kau jadi sensitif sepert ini sih?”
“Aku tidak minta komentarmu rubah!”
“Oke oke. Just tell me what happened!”
Well, aku tau pasti cepat atau lambat aku akan menceritakan kejadian itu lagi. Tapi kenapa harus secepat ini? Aku masih tertekan dengan semuanya!
“Berikan aku waktu oke?”
“Semakin kau menunda untuk menceritakannya, semakin sakit yang akan kau rasakan! Lebih cepat lebih baik vyn!”
“Kau ingin aku menangis lagi?” ucapku dengan sinis.
“Lebih baik kau keluarkan tangisanmu itu daripada menahannya.” Ucapnya bijak.
Well, dia benar dan aku tak bisa membatahnya kali ini. Oke, it’s the story begun.

TIRED MOMMA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

WHAT THE HELL WITH THIS WEEK???
drama ngantri
makalah menunggu
ulangan masih setia
UAS ESSAY?????????????

sebagai seorang pelajar, gue udh merasa kayak robot t-_-t