Wednesday, December 14, 2011

Fanfict 2 (part 4)


Aku menyantap makan siangku dengan terburu-buru. Terlalu terburu-buru.
Easy Alv! Kau tidak ingin tersedak kan?” Ucap Hest.
Aku menengadah melihat ke empat temanku yang lain. Lalu aku melemaskan posisi dudukku menjadi lebih santai. Ingin rasanya aku cerita apa yang terjadi saat di koridor bersama Lucie tadi. Tapi sesuatu menahanku untuk bercerita. Aku menatap Lucie, dan ia memasang ekspresi 'kamu-tau-bagaimana-sifat-mereka-aku-yakin-mereka-tidak-akan-bilang-pada-siapapun'. Aku menghela nafas.
“Well, aku mengalami kejadian buruk.” Aku mulai bercerita dengan muka masih bimbang.
Oh My Godness! Sisi dari mana yang kau lihat bahwa itu kabar buruk Alv? Itu unpredict moment!” Lucie mengoreksi, persis seperti mamaku.
“Okay mama! Ada sebuah kejadian yang membuatku menjadi gila, enough?” Aku menatap kesal ke arah Lucie. Ia hanya mengangkat alis memintaku melanjutkan.
“Kejadian apa? Ada hubungannya dengan kelas Sejarah Sihir nanti? Sungguh aku malas sekali dengan kelas itu! Membuatku ngantuk saja setelah makan siang ini! Kalian tau kan bahwa .....” Arina menatap ke arah kami karena kami semua -pastinya kecuali Luna yang terlihat sangat tertarik dengan keluhan Arina itu- yang memasang wajah 'c’mon-bukankah-harusnya-Alv-yang-bercerita'. Lalu Arina memasang senyum lugu. “... Maaf! Lanjutkan Alv!”
“Aku bertemu Draco di koridor menuju Aula Besar. Hanya itu.” Aku menceritakan dalam versi simple.
“Huh! Biar aku yang cerita.” Lucie mendengus kesal. “Kami bertemu Draco dan aku melihat -well, walau cuma sekilas- Draco melakukan gerakan seperti ingin mengejar kami tapi tidak jadi. Pasti ada sesuatu.”
“Dia hanya ingin mengejekku kembali.” Aku menegaskan kembali pendapatku.
“Tidak. Dia seperti ingin minta maaf padamu. C’mon Alv, biasanya kau berpikir positif kepada semua tingkah konyol Draco.” Lucie mengingatkan aku kembali.
“Dan biasanya kau suka berpikiran negatif kepada semua tingkah Draco.” Aku juga mengingatkan Lucie.
“Baiklah kita tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya.” Hest menengahi kami. Aku kembali menyantap makan siangku dengan normal. Ada sesuatu yang menganjal di dalam pikiranku. Selama aku mengenal Draco, dia tidak pernah menghampiri orang lain kecuali untuk hal yang penting. Lalu hal penting apa yang ada padaku? Aku tidak ingin berpikir lebih jauh. Aku menduga bahwa Lucie salah lihat. Mungkin yang ingin dihampiri Draco bukan kami.
“Aku mau bercerita padamu!”
 Lucie menarik tanganku ke salah satu sofa yang memperlihatkan pemandangan lapangan quidditch. Aku lihat Lucie sedang menimbang-nimbang akan memulai darimana. Dia terlihat sedikit cemas.
“Kau ragu akan menceritakan rahasiamu padaku?” Aku menebak-nebak.
“Tidak bukan itu. Hanya saja aku takut kau marah padaku.” Lucie menundukkan kepalanya seperti murid yang merasa bersalah.
“Kau saja belum cerita, bagaimana aku bisa marah?” Aku menenangkan Lucie.
“Well, sebelumnya aku mau bertanya. Jawab sejujur-jujurnya ya.” Aku mengangguk mengiyakan. “Sebenarnya apa hubunganmu dengan Josh?”
Aku kaget dengan pertanyaan Lucie. Selama ini semua sahabatku memang tak pernah menanyakan hubungan aku dengan Josh. Aku kira mereka mengerti. “Kami hanya teman sejak kecil.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja. Dia sudah seperti kakakku. Karena dia, well, dia sama sepertimu. Selalu saja mengatur-aturku di Hogwarts.”
“Aku serius Alv!”
“Aku juga. Memang ada apa sih tiba-tiba kau bertanya hal seperti ini? Sampai serius begini.” Aku mulai menebak-nebak kembali. Dan satu gagasan muncul dibenakku. “Jangan-jangan kau suka padanya?” Aku sendiri kaget dengan gagasanku sendiri.
Lucie mengangguk malu.
“TIDAK MUNGKIN!! SEJAK KAPAN? KOK BARU CERITA SEKARANG?” Aku berteriak. Lucie membekap mulutku agar aku diam. Lalu melihat sekeliling memastikan tidak ada yang mendengar. Setelah aku diam, dia melepaskan tangannya dari mulutku.
“Kau ingin membuat semua sekolah tahu ya?? Well, aku menyukainya sejak dia menghiburku karena kematian burung hantuku. Sejak saat itu aku melihat sisi lain Josh. Aku malu untuk bercerita padamu. Karena kamu dekat sekali dengan Josh.” Lucie berbicara dengan cepat.
“Well, okay. Lalu apa rencanamu?”
“Mengajaknya ke Magical Snow Party.”
“Kenapa hari ini kau baru akan mengajaknya? Bagaimana kalau dia sudah menerima ajakan wanita lain? Kau tahu kan dia punya banyak penggemar.” Aku bertanya kesal pada Lucie.
“Aku sudah bertanya pada teman satu kamarnya, ia bilang dia belum menerima satupun gadis di sekolah ini.”
Aku teringat kejadian di tangga saat aku menuju ruang guru. Apa yang ditunggu Josh sebenarnya?
“Lalu bagaimana caramu mengajaknya?”
Lalu Lucie memasang wajah memohon padaku. Seakan aku bidadari yang turun dari surga untuk mengabulkan permohonannya untuk membuat semua nilainya bagus. “Maka dari itu aku bilang padamu, Bantu aku!” Ia tersenyum berharap.
“ Wowowowo. Bagaimana caranya aku membantumu?”
Entah sebuah keajaiban atau kebetulan atau keajaiban bercampur kebetulan, tiba-tiba Josh turun dari tangga kamarnya dan masuk ke ruang santai. Ia melihat padaku dan menghampiriku. Aku menatap Lucie, ia terkejut dengan kebetulan-atau-keajaiban itu lalu memalingkan mukanya padaku dengan ekspresi berharap.
“Hai Vyn! Bagaimana dengan detensimu? Aku dengar kau mendapatkan tugas banyak dari Professor Snape?” Ejek Josh sembari menahan tawanya.
Aku berdiri dari sofa. “Huh! Kalau bukan karena ada hal penting, aku pasti sudah pergi dari sini sembari melemparmu dari jendela.” Aku memasang wajah kesal.
“Wooo easy Vyn. Hahahaha. Memang hal penting apa?”
Aku menatap Lucie. Ia bangun dari sofanya dan berdiri di belakangku. Aku memutar kepalaku menghadap Josh. “Kau belum menerima ajakan salah satu gadis disini?”
“Aku dengar pun kau belum ada pasangan untuk pergi ke Magical Snow Party. Saat di tangga itu aku serius Vyn!” Josh memasang wajah seriusnya.
Aku menoleh Ke arah Lucie yang memasang wajah bingung. “Well, maaf aku harus menolakmu lagi kalau begitu, karena ...” Aku menghela nafas. Ternyata susah menjadi Mak Comblang. “Karena Lucie ingin aku meminta padamu agar kau pergi dengan dia ke Magical Snow Party.”
Josh mengerutkan alisnya. “Siapa Lucie?”
Aku memasang wajah kesalku. Tapi Josh tidak bercanda. Lalu aku menggerakkan kepalaku ke arah Lucie. Josh memiringkan kepalanya agar bisa melihat Lucie yang tertutup badanku. “Oh! Si gadis burung hantu. Bagaimana? Sudah dapat pengganti burung hantumu itu?”
Aku lihat Lucie menjadi gugup. “A-aku be-belum beli penggantinya.” Gagap Lucie.
“Bagaimana?” aku mengangkat alisnya. Josh terlihat ragu dan memasang ekspresi 'kau-serius?-maksudku-kenapa-kau-membantunya'. Dan aku memasang wajah 'kapan-aku-tak-serius?-dia-memintaku-untuk-bilang-padamu'. Josh kembali bingung, lalu aku memasang wajah 'C’mon-terima-saja'.
Josh menghela nafas. “Baiklah kalau kau begitu...” Josh melihat ke arah Lucie. “Sampai bertemu saat Magical Snow Party.” Ia memasang senyum ramah dan pergi keluar asrama.
Di belakang aku merasakan Lucie jatuh terduduk di sofa. Aku memutar tubuhku menatapnya. Ia terlihat lega dan... err senang. Aku harusnya ikut merasakan senang. Tapi kenapa aku merasakan hal yang berbeda?
Lucie memberikan senyum bahagianya padaku. “Terima kasih Alv!!!” Ia lalu memelukku dengan hangat.
*Well, setidaknya ini setimpal*
Aku balas memeluknya  merasakan kebahagiaan Lucie.
*Josh’s POV*
Aku bingung dengan sifat Vyn tadi. Dia menjodohkan aku dengan temannya. Sungguh diluar pikiranku. Banyak sekali penggemarku yang minta dijodohkan lewat Vyn. Tapi Vyn selalu menolakknya. Mungkin si gadis burung hantu ini sahabatnya. Well, kalau ini membantu Vyn, akan aku lakukan.
Aku masuk ke kamarku kembali setelah pergi menyampaikan tugas  yang diberikan Professor Flitwick.
“Hey Bro! Kau mendapatkan surat ajakan lagi dari gadis Slytherin.” Michael melempar sebuah surat padaku.
“Apakah di dalamnya ada jebakan lagi?” aku tersenyum jahil melihat surat itu.
“Kami sudah menguji cobanya pada tikus. Dan ternyata gadis ini tidak semaniak gadis Slytherin sebelumnya.” Terry tertawa.
“Tapi aku masih bingung. Bagaimana dia mendapatkan Ansorsia? Itukan ilegal dijual-belikan.” Anthony mengerutkan keningnya. Ansorsia adalah Parfum yang membuat si korban akan menerima semua ajakan yang ditawari dalam jangka waktu 8 menit.
“Untung saja aku menyadarinya. Kau terlihat tersenyum-senyum dan bilang akan pergi dengan gadis itu. Lalu aku berpikir ‘Josh dengan Slytherin? Pasti ada yang salah’. Lalu aku ingat tentang Ansorsia. Aku tau kalau efek Ansorsia akan menghilang jika si korban disadarkan. Maaf soal pukulan itu kawan!” Neo memasang wajah bangga sekaligus maaf kepadaku.
Aku menggerakkan rahangku. Pukulan Neo sangat keras, hingga rasa sakitnya masih terasa. Tapi setidaknya dia berniat baik. “Yasudahlah, lagi pula aku sudah menerima ajakan salah satu gadis ravenclaw.” Aku melemparkan surat itu dan berbaring di kasurku.
“Hah?! Apakah Alvyna telah menerima ajakanmu?” Terry Boot bertanya.
“Tidak. Salah satu temannya mengajakku melalui Vyn. Vyn memamaksaku, sehingga aku tak bisa menolak.” Aku mengangkat bahu, tak terlalu peduli lagi.
“Siapa memang temannya itu?” tanya Michael Corner.
“Ummm kalau tak salah Vyn memanggilnya Lucie.” Jawabku.
Mereka berempat langsung memasang wajah terkejut. “Maksudmu Luciana Rasgrin?” Tanya Anthony Goldstein.
“Aku rasa itu dia.” Aku bingung dengan tatapan mereka. “Ada apa sih?”
For God’s sake! Kau tidak tau siapa dia?? Dia adalah wanita paling cantik, pintar, dan baik di sekolah ini! Banyak laki-laki yang mempersembahkan nyawanya hanya untuk sekedar berkencan dengan dia! Dan kau dengan mudah bisa bersamanya ke Magical Snow Party! Betapa beruntungnya kau!” jelas Neolitan Marstein. Aku tidak peduli dengan penjelasan Neo tentang keistimewaan si gadis burung hantu itu.
“Well, kau jauh lebih cocok pergi dengannya dari pada dengan Alvyna. Kalian sama-sama populer, pintar, dan menawan. Alvyna 180 derajat berbeda dengan Luciana. Walau sikap judesnya kadang-kadang membuat aku penasaran” Ujar Anthony.
Aku langsung menatap sinis ke arah Anthony. “Jangan pernah mengejek Vyn!”
Easy Bro!” Michael melemparkan bantalnya yang langsung aku tangkis menunjukkan aku tidak bercanda. “Kenapa kau sangat perhatian dengan Alvyna sih? Kau juga mengajaknya ke Magical Snow Party, yang dengan bodohnya malah dia tolak. Padahal banyak sekali wanita yang ingin pergi ke sana denganmu.” Aku setuju dengan pemikiran Michael. Aku sendiri bingung kenapa aku begitu perhatian kepada Vyn.
“Well, Vyn sudah kuanggap adikku sendiri. Aku hanya ingin selalu menjaganya.” Aku menerangkan.
“Aku kira tidak se-simple itu Josh.” Ucap Neo diikuti anggukkan temanku yang lainnya.
“Huh! Aku sendiri bingung.” Aku menutup mata berdoa yang terbaik untuk Vyn.

No comments: