Wednesday, December 21, 2011

Harry Potter and The Other Potter

*Violet POV’S*

Aku terbangun karena mimpi buruk. Aku lalu terduduk di atas kasurku. Aku bermandikan keringat dingin. Aku menutup mataku untuk menenangkan tubuhku tapi gagal. Tubuhku tetap gemetar tanpa sebab. Dalam mimpiku, aku berada di dalam salah satu ruangan yang gelap dan dingin. Sumber cahaya satu-satunya adalah jendela kecil yang berada di atas ruangan tersebut. Di depanku terdapat cermin besar yang penuh dengan debu. Aku yakin bahwa itu adalah cermin tarsah. Tapi ternyata saat Aku bercermin yang Aku lihat bukanlah hasrat terdalamku. Yang Aku lihat adalah seorang laki-laki dengan mata hijau menatap bingung ke arahku. Aku berjalan mendekat ke arah cermin dan sosok di cermin itu mengikuti hal yang aku lakukan. Mataku terbelalak saat menyadari yang dihadapanku adalah Harry Potter, The Boy Who Lived. Karena terkejut, aku terbangung dari tidurku.


*Harry POV’S*

Aku terbangun karena mimpiku. Aku bingung arti dari mimpi tersebut. Dalam mimpiku, aku berada di dalam salah satu ruangan yang gelap dan dingin. Sumber cahaya satu-satunya adalah jendela kecil yang berada di atas ruangan tersebut. Di depanku terdapat cermin besar yang penuh dengan debu. Aku yakin bahwa itu adalah cermin tarsah. Tapi ternyata saat aku bercermin yang aku lihat bukanlah hasrat terdalamku. Yang aku lihat adalah seorang wanita dengan hazel menatap bingung ke arahku. Aku berjalan mendekat ke arah cermin dan sosok di cermin itu mengikuti hal yang aku lakukan. Aku yakin pernah melihat wanita itu. Lalu tiba-tiba cermin tersebut pecah dan membangunkanku dari tidurku.

*Violet POV’S*

“Aku bermimpi itu lagi.” Ucap Violet kepada sahabatnya, Folda.

“Tentang Harry Potter?” tanya Folda tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca.

Folda adalah satu-satunya tempatku bercerita. Kami adalah anak dari panti asuhan penyihir di dunia muggle. Aku dan Folda tidak pernah tahu siapa kedua orang tua kami dan bagaimana kami bisa berakhir di sini. Menurut Suster Helin, aku berada di panti asuhan ini sejak bayi. Dan aku ditemukan dengan kalung bertuliskan Violet di leherku yang masih aku simpan sampai sekarang.

Folda dan aku sekarang berumur 17 tahun. Kami bersekolah di sekolah Hogwarts. Aku adalah murid Hufflepuff sedangkan Folda adalah Ravenclaw. Aku sedang merapihkan barang-barangku karena besok Hogwarts sudah akan memulai pembelajaran baru.

“Yap. Semenjak beberapa minggu ini, hanya itu mimpiku.” Aku memasukkan tongkatku-11”, Holly, bulu ekor unicorn-ke dalam kantaong celanaku.

“Bagaimana kalau kau tanya kepada Harry nanti di stasiun.” Saran Folda.

“Kau gila! Aku belum pernah berbicara kepadanya. Yang benar saja jika aku dengan tiba-tiba mendatanginya dan bilang ‘Hey Harry. Kau tahu aku selalu memipikanmu akhir-akhir ini. Pertanda apa ya?’. I must be crazy!” Aku memutar kedua mataku. Folda tertawa karena ucapanku.

"Kau tau apa yang aku pikirkan saat melihat matamu? mengapa warna matamu hazel sedangkan namamu Violet?" Aku melempar bantal padanya lalu kami tertawa bersama-sama.

Tiba-tiba pintu kamar kami terbuka. Dari celah pintu muncul kepala Suster Emerald.

“Violet, ada seseorang mencarimu.”

Seseorang? Mencariku? Tapi siapa? Tanpa mengelurkan sepatah kata pun aku mengikuti Suster Emerald menuju Ruang Jamu panti asuhan tersebut. Saat pintu terbuka aku menatap punggung lelaki tua itu. Saat lelaki tua tersebut memutar tubuhnya, aku menahan nafasku. Ternyata itu adalah Professor Dumbledore.

“Terima Kasih Suster.” Dumbledore tersenyum ramah pada Suster Emerald.

“Maaf Professor, ada masalah apa ya?” aku memulai percakapan dengan nada gugup.

Dumbledore hanya tersenyum melihat tingkahku. “Ini bukan suatu maslaah. Tergantung dari mana kau melihatnya.” Jelasnya. Aku hanya mengerutkan keningku sebagai respon.

Dumbledore menjelaskan kembali. “Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu yang tlah lama aku sembunyikan..” dengan bahasa tubuhnya, Dumbledore mempersilahkanku untuk duduk. “Aku yakin kau pernah mendengar bahkan bertemu atau mungkin kenal dengan Harry Potter.”

“Aku pernah bertemu dengannya tapi kami belum berkenalan.” Aku menatap mata birunya.

“Bagaimana reaksimu kalau aku mengatakan bahwa dia adalah saudara kembarmu?” Tanya Dumbledore. Aku terkejut dengan pertanyaannya. Aku berpikir ada apa yang terjadi. Aku melihat dumbledore dan tahu bahwa ia sedang menunggu sebuah jawaban.

“Well, aku tidak akan percaya. Sangat-sangat aneh kalau itu bisa terjadi bukan?”

Dumbledore mengangguk setuju. “Tapi ingat, bahwa kita hidup di dunia yang tidak dapat ditebak.”

“Jadi..?”

“Maaf Violet, tapi aku harus mengatakan bahwa itu memang benar.”

“TIDAK MUNGKIN!!” Aku berdiri. “Itu hal paling tidak masuk akal!”

“Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Biar aku jelaskan terlebih dahulu..” Dumbledore memberikan isyarat aku untuk duduk kembali. Aku menurutinya.

“Bukan hal asing lagi bahwa sejak dahulu Voldemort...” Aku meringis mendengar nama itu disebut. “mengincar Harry Potter. Tapi yang orang-orang tidak ketahui bahwa sebenarnya Harry Potter mempunyai saudara kembar. Yang mengetahuinya hanya aku, Sirius, Remus, dan Peter. Dan aku yakin bahwa sekarang Voldemort tahu bahwa kau adalah saudara kembar dari Peter Pettigrew. Dan aku yakin Voldemort pun sedang mengincarmu. Saat Voldemort menghancurkan rumahmu, kami tak menemukan kau di sana. Yang kami temukan hanyalah si kecil Harry. Aku merasa sangat bersalah kepadamu. Andai ada yang bisa membalas semua kesalahanku.”

Aku merasa sang waktu berhenti. Aku merasa semua terfokus padaku dan Professor Dumbledore. Aku menatap Professor Dumbledore, begitu pula sebalikknya. Tenggorokkanku kering. Aku memaksakan untuk mengeluarkan suara. “Buktikan.” Hanya itu yang bisa aku katakan.

“Well, aku telah menelusuri bahwa tongkatmu dan harry memiliki panjang yang sama dan terbuat dari kayu yang sama. Intinya berbeda tapi saling terkait. Kalau tongkat Harry dan Voldemort terkait karena memiliki inti yang sama, tongkatmu dan tongkat Harry terkait karena memiliki inti yang bisa diistilahkan saling tarik menarik.” Jelas Dumbledore. Melihat raut muka tidak kepuasaanku Dumbledore melanjutkan. “Begini saja..” Dumbledore mengelurkan botol kecil dari kantong bajunya. “Ini adalah veritaserum. Kau pasti pernah mendengarnya kan?” aku mengangguk. Aku pernah melihat veritaserum dan aku yakin bahwa cairan yang dipegang Dumbledore adalah veritaserum. Lalu Dumbledore menuangkan cairan itu ke Air di meja di depannya. “Aku telah menelusuri bahwa yang menemukanmu adalah salah satu suster di sini. Bagaimana kalau kita panggil dia?”

Lalu pintu ruangan itu terbuka. “Apakah anda memanggil saya Professor?” Ternyata itu Suster Ruby.

“Ahh. Ruby, masuklah! Sudah lama kita tidak bertemu bukan? Bagaimana kalau kau minum terlebih dahulu.” Dumbledore menawarkan air yang berisi veritaserum kepada Suster Ruby. Suster Ruby lalu duduk di hadapan Professor Dumbledore dan dengan sedikit ragu-ragu meminum air tersebut.

“Nahh, bisa kau jelaskan kepada Violet tentang apa yang terjadi saat Voldemort menyerang rumah keluarga Potter?” Tanya Dumbledore.

“Aku sedang berada di Godric’s Hollow saat itu untuk menjenguk adikku. Saat setelah Voldemort menghancurkan rumah keluarga Potter, aku melihat rumah tersebut. Samar-samar aku mendengar tangis bayi. Saat aku mencari-cari ternyata ada bayi perempuan di sana. Lalu aku bawa kemari, tempat kerjaku. Bayi itu adalah Violet.” Jelas Suster Ruby. Aku menatap kosong ke arahnya. Rasanya seperti semua dunia runtuh.

“Cukup Ruby. Kau bisa pergi meninggalkan kami.” Ucap Dumbledore dengan senyum ramah. Lalu Suster Ruby meninggalkan ruangan ini. “Bagaimana? Sebenarnya ada satu bukti lagi. Aku tahu kau pasti masih menyimpannya, yaitu kalung bertuliskan Violet.”

Aku menutup mataku. Semua perasaan berkecamuk di dadaku. Terkejut, sedih, kecewa, marah, iri, kesal, dan rasa dendam. Aku merasakan tetes air mata mengalir di pipiku. Rasanya aku ingin berteriak. Tapi aku yakin teriakku tak akan cukup untuk menghilangkan semua perasaan ini. Aku membuka mataku dan beberapa bulir air mata jatuh kembali.

“Bagaimana mungkin ini terjadi?” Isakku. Dumbledore menatapku melewati kacamatanya. Aku melihat rasa iba pada kedua bola matanya.

“Aku rasa kau perlu menenangkan dirimu untuk sementara waktu.” Dumbledore menepuk halus punggungku. Dan membantuku bangkit berdiri. “Sampai ketemu saat di Hogwarts Violet.” Dumbledore tersenyum ramah dan pergi dari ruangan. Aku berlari ke arah kamarku. Sesampainya di kamar, aku langsung berbaring di kasurku dan memuntahkan semua tangisku yang aku coba tahan sebelumnya diikuti tatapan bingung Folda.


*Death Eater POV’S*

“TU-tuanku.. Ada yang ingin hamba sampaikan..”

“Ahhh, Wormtail. Ada berita apa?”

“Hamba baru teringat perihal Potter Tuanku.”

“Ceritakan.”

“Ternyata Harry Potter memiliki saudara kembar..”

Mata Voldemort terbelalak. Ia mengacungkan tongkatnya. “Crucio.” Lalu muncul warna merah pada tongkat Voldemort mengenai tepat ke Wormtail. Di hadapannya Wormtail menggeram kesakitan. “Kenapa baru kau bilang sekarang Wormtail?” Wormtail semakin kesakitan. Di hentikan kutukan Cruciatus oleh  Voldemort lalu Wormtail tidak merasa kesakitan kembali.

“Sa-saya baru ingat Tuanku. Maafkan Hambamu yang setia ini!”

“Kau memang pengikutku yang tidak berguna! Kuperintahkan kau mencari kembaran Harry dan bunuh dia!


*Violet POV’S*

Akhirnya aku mendapatkan kompartemen yang kosong. Folda pasti sedang bersama teman-temannya. Aku memang biasa sendiri. Lalu tiba-tiba pintu kompartemenku terbuka.

“Err... Maaf bolehkah kami duduk di sini?” ternyata itu Hermione , ron, dan... Harry. Aku menatap mereka dengan gugup. Aku tidak menyangka akan kebetulan seperti ini. Mereka terdiam menunggu jawabanku. Aku menghembuskan nafas dengan gigi tertutup sehingga mereka tak akan mendengar.

“Tentu saja. Senang akhirnya aku mendapatkan teman” Aku tersenyum ramah kepada mereka bertiga.

“Hah akhirnya. Terima kasih ya. Ah sepertinya aku kenal kau. Kau Violet Vyon kan? Dari Hufflepuff kalau tak salah?” Tanya Hermione.

Aku menganggukkan kepalaku. Aku lihat Harry hanya memperhatikanku dengan ekspresi aneh.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Harry.

Aku menahan nafasku. “Tidak aku rasa.”

“Ahh aku ingat. Kau adalah .... ahh lupakan saja. Mungkin sebuah kebetulan.” Harry tersenyum simple dan duduk di samping Ron yang duduk di hadapanku.

Perasaan-perasaan itu kembali muncul di benakku. Tapi aku tahu alasan dari setiap perasaanku. Aku marah kepada setiap orang yang membiarkan aku di rawat oleh panti asuhan sedangkan Harry mendapatkan perhatian seluruh dunia. Aku kecewa karena pada hari dimana Voldemort membunuh orang tuaku, orang tuaku lebih mementingkan Harry daripada aku. Iri karena selama ini Harry selalu di nomor satukan. Bahagia karena akhirnya aku tahu kalau aku tak sendirian. Sedih karena saat aku mengetahui semuanya, keluargaku sudah berpisah-pisah dan berada dalam ancaman. Tapi lebih dari itu, saat aku melihat Harry, ada suatu perasaan yang sangat kuat yang muncul, yaitu rasa ingin melindungi. Aku ingin sekali melindungi Harry dari semua bahaya yang selama ini. Lalu tiba-tiba muncul rasa sayang ku kepada Harry. Rasanya seperti aku ingin memeluknya saat itu juga. Tapi aku harus memendam semua perasaan ini. aku alihkan pandanganku menatap keluar jendela.


*29 Juni 1997*

Dimana aku? tunggu bukankah ini pemakaman? Makam siapa di depanku ini? Bukankah ini makam kedua orang tua ku? Aku melihat ke segala arah. Tidak ada orang di sana. Aku berjalan mendekat ke arah makam tersebut. Aku mengusap makam itu. Aku tahu bahwa ini mimpi, tapi aku bisa merasakan bahwa aku menangis. Aku merasakan hembusan angin. Lalu aku melihat di belakang nisan tersebut ada seorang lelaki dan perempuan tersenyum hangat kepadaku. Aku tidak mengenal mereka. Aku menutup mataku berharap terbangun dari mimpi ini. Saat kubuka mataku, mereka berdua masih berada di sana.

“Akhirnya kami bisa melihat kau dewasa.” Ujar sang wanita.

“Kau sangat cantik sayang.” Ujar sang lelaki.

Aku membuka mulutku, tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku.

“Kau pasti tak mengenal kami. Maafkan kami tak pernah menjagamu dengan baik. Akibatnya kau harus hidup di panti asuhan seolah tidak mempunyai keluarga. Ini memang kesalahan kami.” Ucap sang wanita, lalu aku melihat setetes air mata jatuh dari mata hijaunya. Pada detik itu aku ingin berlari ke depannya dan menghapus air mata itu. Tapi tubuhku tak bisa digerakkan.

“Maafkan atas semua kesalahan kami. Sebagai orang tua kami merasa gagal merawat dan menjagamu dan Harry. Tapi terlewat dari semuanya, kami selalu menyayangimu Violet. Kau dan Harry. Kalian adalah segala hal terpenting yang pernah kami punya.” Ucap sang lelaki.

Aku merasakan mataku terus menerus mengeluarkan air mata. Jadi mereka orang tuaku? Ini adalah pertemuan kami yang pertama dan apakah akan menjadi yang terakhir?

“Kami akan selalu ada untuk menjagamu. Percayalah.”

Aku menutup mataku dan saat aku membuka aku sudah berada di atas tempat tidurku dengan air mata yang terus mengalir.


*Sorenya*

Aku lelah menyembunyikan semuanya dari Harry. Aku tidak peduli dengan perintah Dumbledore untuk merahasiakan semuanya dari Harry. Aku melihat Harry berada di gubuk dekat Hagrid. Aku mendatanginya.

“Boleh kita berbicara? Bedua saja.” Ucapku melirik ke arah Ron dan Hermione.

Ron dan Hermione saling berpandangan. Lalu Hermione menarik tangan Ron. Aku merasa aneh dengan ekspresi mereka. Seakan mereka tahu apa yang akan aku bicarakan dengan Harry. Setelah mereka pergi aku manatap Harry yang memasang muka... Aku tidak dapat menjelaskan ekspresi tersebut.

“Ceritakan.” Ucapnya dengan datar.

Aku tersenyum kecut. “Aku yakin kau tahu apa yang akan aku katakan, bukan kah begitu?”

Harry menatapku dengan muka datar lalu mendengus. “Hidup selalu tidak adil untukku.”

Aku mendekati Harry sehingga jarak kami hanya 2 langkah. “Untukmu? Kau kira hidupku bahagia dengan semua yang terjadi selama ini? Kau pikir aku senang tinggal di panti asuhan dan tidak pernah mengetahui identitas orang tuaku bahkan keluargaku? Kau pikir aku senang saat Dumbledore berkata aku mempunyai saudara kembar dan dia adalah The Boy Who Lived? Kau pikir aku senang mengetahui semua secara mendadak tanpa persiapan tanpa ada tanda-tanda? Kau pikir aku senang mengetahui bahwa selama ini aku sendirian dan kau Harry selalu bersama teman-temanmu dan saling menjaga? Dan kau pikir aku senang menampung semuanya sendiri dan  tidak membicarakannya kepada siapapun, menyimpan semua ini? Hidup pun tak adil buatku Harry.” Ledakku.

Harry menutup mata. Aku menunduk. Dan aku mendengar diriku sendiri terisak-isak. Akhirnya semua yang aku rasakan keluar. Selama 9 bulan aku menahan dan berusaha untuk kuat. Tapi akhirnya semuanya pecah. Aku merasakan sebuah tubuh memelukku. Aku menengadah dan melihat Harry memelukku seakan menenangkanku.

“Dan kau tahu apa yang tidak lucu Harry? Selama ini aku selalu berharap bisa menjagamu, tapi saat kau terlibat masalah aku hanya bisa berdiri melihatnya. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Aku bingung. Aku...”

“Terima kasih kau ingin menjagaku Kakak.” Sela Harry. “Kau lah yang aku butuhkan di saat-saat seperti ini. Seorang keluarga yang akan ada untukku” Harry melepas pelukannya. Ia tersenyum hangat kepadaku.

“Tunggu, jadi aku kakakmu?  Bagaimana kau tahu? Dumbledore tidak memberi tahuku.”

“Hagrid menceritakanku tadi. Ia tahu dari Dumbledore.”

Aku membuka mulutku karena terkejut. “Kau baru tahu semua ini tadi?”

Harry hanya mengangkat bahunya. “Setidaknya kita impas.” Ia tertawa kecil. “Matamu mengingatkanku kepada ayah.”

Aku tersenyum mendengarnya. “Matamu mengingatkan aku kepada ibu.” Jadi ini rasanya memiliki sebuah keluarga? Rasanya seperti rasa aman yang abadi. Kau tak akan pernah takut pada apapun, karena pasti keluargamu akan ada saat apapun. Saat aku melihat Harry, rasanya aku telah menemukan segala yang aku inginkan di dunia ini. Kehangatan keluarga.


*keesokkan harinya*

Aku sedang berada di pekarangan Hogwarts. Aku melihat langit berawan. Aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Dari kejauhan aku melihat Harry sedang mengejar Professor Snape. Harry terkena salah satu mantra Snape hingga ia terpental menjauh. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku lalu berlari menghampiri Harry.

“Stupefy.” Snape memantrai Harry lagi.

“Finite.” Aku menghentikan mantra Snape.

Snape memandangiku dengan ekspresi bingung. “Well, well, Violet? Apa urusanmu di sini?” Snape mengangkat alisnya.

“Menjauh dari saudaraku!” Teriakku. Lalu di belakang Snape muncul seorang lelaki gendut yang sangat lusuh.

“Kau saudara Harry?” Tanyanya.

“Yep, Aku Violet Potter. ada masalah?” Dengan sekali hentakkan tongkat, lelaki gendut itu membuat tubuhku kaku dan aku merasakan kakiku tidak menyentuh tanah.

“Kaulah yang aku cari-cari. Kau adalah saudara kembar dari bocah itu. Kau juga ancaman Dark Lord! Kau harus mati!”

“TIDAKKKK!!!” Aku mendengar Harry berteriak.

“Avada kedavra.” Dari tongkat lelaki itu muncul kilatan hijau dan terarah kepadaku.


*Harry POV’S*

Aku melihat tubuh Violet terangkat ke atas oleh Wormtail.

“Kaulah yang aku cari-cari. Kau adalah saudara kembar dari bocah itu. Kau juga ancaman Dark Lord! Kau harus mati!”

“TIDAKKKK!!!” Aku berteriak sekencang-kencangnya.

“Avada kedavra.” Dari tongkat Wormtail muncul kilatan hijau dan terarah tepat ke Violet. Tubuh Violet terpental menjauh. Aku mendekati tubuhnya, lalu aku menggenggam tangannya berharap di sana ada keajaiban. Tapi aku tidak merasakan denyut nadi. Mataku panas karena air mata dendam dan marah. Aku memutar tubuhku berjalan mendekati Wormtail dan Snape. Aku mengarahkan tongkatku ke Wormtail.

“Crucio!”

 kilatan merah itu tepat mengenai tubuh Wormtail. Ia menggeram kesakitan dan terjatuh di tanah. Aku melihat Snape mengarahkan tongkatnya kepadaku. Tapi dari langit aku lihat Buckbeak datang dan mengarahkan cakarnya ke arah Snape. Aku menghentikkan kutukanku. Aku lihat Snape dan Wormtail langsung berdisapparate. Aku berlari ke arah tubuh Violet yang sudah tak bernyawa. Dan saat itu tangisku pecah.

No comments: