*Alvyna’s
POV*
*Malam
Magical Snow Party*
“Kau yakin tidak akan ikut?”
Aku mengangguk mantap. “Kalian
terlihat cantik malam ini.” Aku tersenyum kagum ke arah mereka. Belum pernah
aku melihat Arina dalam balutan gaun panjang berwarna biru laut. Lehernya yang
telanjang ia hiasi dengan kalung berbentuk rasi saturnus yang indah sekali.
Arina membiarkan rambut ikal panjangnya -yang biasanya terikat- tergerai,
menambahkan kesan feminimnya.
Dan aku berpaling melihat Hest. Hest
yang berkepribadian tomboy, memakai gaun terlihat sangat menawan. Gaun coklat
pendek dengan renda-renda lucu memutari dari ujung gaun hingga atas membuatnya
sangat feminim. Ia memakaikan bondu coklat muda pada rambutnya yang berpotongan
pendek.
“Dan kau paling utama Lucie. Aku yakin
Josh akan terkesima selama pesta berlangsung.” ucapku dengan tulus. Lucie
memang cantik sekali. Gaun merah muda pendek yang mengembang sedikit pada
bagian bawahnya karena berlapis-lapis dan dengan pita hitam pada bagian
pinggang sangat pas di badannya. Ia mengeriting sedikit rambut lurusnya,
sehingga dia menjadi lebih eksotis.
“Aku sedih kau tidak ikut Alv! Aku
tidak mungkin berbiacara dengan Theo sepanjang pesta kan?” Ucap Arina dengan
sedih. Ia mengajak si pendiam Artheo Lizdus dari asrama hufflepuff yang
seangkatan dengan kami.
“Aku pun menerima ajakan Horge karena
hanya dia yang mengajakku. Aku ingin lihat semeriah apa pesta ini. Pesta ini
kan bisa dibilang premiere. Karena baru pertama diadakan di Hogwarts.” Hest
membayangkan semeriah apa pesta nanti. Walau Hest tomboy, dia adalah penggila
pesta resmi maupun tidak resmi. Ia menerima ajakan Horge Porfoumn dari asrama
Slytherin yang mengaku terkesima dengan sikap cuek Hest. Dia satu angkatan
diatas kami.
“Alv, Luna, kalian pasti diajak
seorang pria kan! Aku yakin itu! Kenapa kalian menolaknya?” Lucie mulai
bersikap seperti mamaku kembali. Bahkan sekarang seperti mamaku dan mama Luna.
“Si kecil Thoms mengajakku. Tapi aku
sudah sampai pada halaman astrology dari The Quibbler.” Luna menjawab cuek
tanpa berpaling dari majalahnya. Thomoson Hertus dari asarama Gryffindor yang 2
angkatan di bawah kami memang sejak dulu selalu memperhatikan Luna dari jarak
jauh.
Well, aku tidak mungkin bilang pada
Lucie bahwa Josh mengajakku. “Tapi memang tidak ada pria yang mengajakku.” Aku
mengangkat bahu tidak peduli.
“Kau bohong kan Alv! Akudengar Josh
mengajakmu sebelumnya” Lucie berkacak pinggang. aku terperanjat. lalu aku
mencoba rileks agar tidak memperkacau suasana.
“Dia hanya kasian karena aku tak punya
pasangan. Kalian tahu kan dia hanya ingin menjagaku..” aku melihat anggukan dari
ketiga temanku sebelum berpaling ke arah Lucie dengan tatapai ‘see’. “Kalian ingin ketinggalan pesta?
Cepat pergi! Jangan khawatirkan aku dan Luna. Kami akan baik-baik saja.” Aku
mendorong mereka bertiga keluar dari kamar.
“Huh. Akhirnya tenang juga.” Aku
membaringkan tubuhku di atas kasur menatap ke luar jendela. Malam yang sangat
kelam, tanpa bintang tanpa bulan. Walau malam itu memberikan sugesti kesepian,
aku malah menikmati sugesti itu. Seperti mempunyai teman yang sama-sama
kesepian.
“Malam yang indah bukan? Sayang mereka
yang berpesta tidak bisa menikmatinya.” Ucap Luna tanpa beralih dari
majalahnya. Aku terkejut dan mengalihkan perhatianku menatap Luna. Aku lupa
bahwa ada Luna di sana.
Aku langsung duduk di atas kasurku,
tertarik dengan perkataan Luna. Sebelumnya aku jarang berbicara dengan Luna
berdua saja, karena topik yang biasa dibicarakan Luna selalu aneh. Tapi
daripada tidak mendapat teman mengobrol, lebih baik aku berbicara dengan Luna.
“Oh ya? Tapi aku rasa malam ini
suasannya sangat sepi. Sangat....” Aku mencari kata yang tepat untuk
menggambarkan malam ini.
“Mistis.” Luna menjawab kebingunganku.
“Seperti bulan dan bintang takut dengan roh-roh jahat yang resah dengan
datangnya musim dingin.”
Aku mengerutkan dahi. “Apa roh jahat
takut dengan musim dingin?”
Luna menengok ke arahku dengan muka
bingung. “Kita hidup di dunia sihir, kan?”
Aku bertambah bingung. “Well, ada
sesuatu yang menarik pada halaman astrology hingga kau tidak ingin
melewatkannya?” Aku mengganti topik.
Luna menutup majalahnya. “Aku tidak
percaya pada ramalan.” Ucapnya sambil mengangkat bahu.
“Lalu kenapa kau membacanya jika kau
tak percaya?” Luna selalu berhasil membuatku bingung setengah mati.
“Karena sangat tidak bijak kalau kau
membeli majalah hanya untuk mendengar kabar terbaru yang tidak terpecaya.” Luna
bangun dari kasurnya. “Aku ingin ke dapur. Pie sangat bagus untuk pencernaan
malam hari.”
Aku otomatis langsung berdiri. “Boleh aku
ikut? Sejak dulu aku ingin ke sana.”
Luna menengok ke arahku dan tersenyum
canggung. “Akan jadi perjalanan yang seru.”
Luna keluar dari kamar menuruni tangga
diikuti aku di belakangnya. Aku selalu penasaran, seberapa banyak peri rumah di
Hogwarts. Kata ayahku, jika kau ingin memiliki peri rumah datanglah ke Hogwarts
karena Albus selalu memperhatikan mereka dengan baik sehingga perilaku mereka
juga baik. Tapi Josh bilang kalau peri rumah yang terbuang akan ditampung di Hogwarts
dan peri rumah yang terbuang adalah peri rumah yang tidak baik. Dua pendapat
yang berlainan.
Kami keluar dari pintu asrama dan di
tangga kami bertemu dengan hantu wanita kelabu.
“Ahhh.. kalian mengagetkan aku
anak-anak! Apa yang kalian lakukan di sini? Aku kira Albus membuat pesta malam
ini.” Ujar Wanita kelabu sedikit melengking.
“Cemilan kecil untuk yang tak
berpesta.” Jawab Luna sambil tersenyum.
“Maksud kalian, kalian ingin mengambil
makanan ke pesta itu? Tanpa gaun? Kalian ravenclaw yang tak sopan.” Wanita
kelabu terlihat kesal kepada kami.
“Kami tidak akan datang ke pesta itu.
Kami hanya akan mengambil beberapa makanan dari dapur dan membawanya ke asrama.
Kami lapar.” Ucapku tidak kalah kesal dengan Wantia kelabu.
“Oh, kalau begitu jangan lewati Aula Besar.
Kalian akan tampak seperti daun hijau diantara daun kuning.” Wanita kelabu
melayang melewati kami menuju asrama.
“Aku kira hantu-hantu pun ikut
berpesta.” Ujarku lebih kepada diri sendiri.
“Aku yakin mereka ikut berpesta.
Wanita kelabu memang penyendiri.” Ucap Luna.
Kami menelusuri koridor demi koridor.
Sampai kami berada tepat di depan Lukisan mangkuk buah raksasa. Luna berjinjit
dan menggosok-gosok lukisan buah pir dan lukisan itu terbuka. Kami memasukinya.
Dan aku melihat banyak sekali peri rumah yang hilir mudik di ruangan besar itu.
Mereka pasti sibuk membuat makanan untuk pesta. Luna memasuki ruangan itu
diikuti aku yang masih terbengong-bengong.
“Umm permisi.” Luna memanggil peri
rumah yang sedang membuat adonan. Peri itu berhenti mengaduk dan menengok malas
ke arah Luna. “Kami ingin beberapa pie.”
“Huh. Tidak kah kalian tunggu di atas?
Kami pasti akan mengirimkannya! Dasar manusia. Selalu tidak sabar. Kami yang
harus repot dengan semua pekerjaannya.” Keluh peri rumah tersebut.
Well, aku setuju dengan pendapat Josh.
“Kami tidak datang ke pesta. Maka dari itu kami langsung datang ke dapur.
Setidaknya tunjukkan kepada kami. Kami akan mengambilnya sendiri.” Ucapku
sedikit kesal dengan ulahnya.
“Huh. Pergilah ke meja disana..” peri
itu menunjuk salah satu meja besar. “Jangan ambil terlalu banyak.
Mereka-yang-berpesta pasti akan menangih beberapa nanti.”
“Baiklah.” Ucap Luna lalu berjalan
riang ke meja yang penuh dengan pie. “Aku suka yang di dalamnya berisi madu.”
Luna langsung mengambil satu pie.
Aku melihat-lihat dan semua pie yang
berbentuk sama dengan ukuran yang sama bahkan terlihat persis semua. Bagaimana
Luna tau yang berisi madu? Aku mengambil acak dan mencium baunya.
“Itu daging.” Ucap Luna. dan memang
baunya memang seperti daging. Aku memutuskan untuk membawa yang daging saja.
“Kau hanya perlu satu? Percayalah ini
akan jadi malam yang panjang.” Ujar Luna dengan 4 pie di tangannya.
“Aku tidak begitu lapar.” Aku
tersenyum lucu melihat Luna. “Ayo pergi. Aku tak ingin dimarahi peri-peri ini.”
Kami keluar daru dapur itu dan
berjalan di sepanjang koridor. Kami terus berjalan saat aku sadar ada seseorang
yang memanggil namaku. Aku memutar kepala ku mecari-cari sumber suara tersebut
saat tatapanku jatuh pada sebuah bayangan.
“ALVYNA!!”
Aku terus memerhatikan bayangan
tersebut. Mataku langsung terbelalak saat aku tau bahwa bayangan itu adalah
Draco. Aku langsung berbalik dan berjalan cepat. Luna dengan cuek mengikutiku
saja di belakangku.
“ALVYNA JEAN SPARROW! AKU TAU NAMAMU!
AKU INGIN BERBICARA SEBENTAR DENGANMU” teriak Draco.
Aku berhenti. Berbicara denganku? Ada
urusan apa? Akal sehatku menyuruhku untuk berlari sampai ke asrama, tapi hati
nuraniku menyuruhku untuk diam dan dengarkan apa yang ingin dikatakan Draco.
Dan hati nuraniku menang. Aku berbalik melihat ke arah Luna di belakangku.
“Tak masalahkah kalau kau duluan ke
asrama? Dan tolong bawa serta pieku. Aku akan menyusulmu. Ok?” Aku memohon pada
Luna.
Luna tersenyum ragu kepadaku.
“Hati-hatilah pada sang malam.” Lalu mengambil pie ku dan beranjak pergi. Aku
menghirup nafas panjang. Aku harus siap dengan apa yang terjadi.
Aku melihat Draco berhenti di depanku
dengan nafas yang memburu. “Well, sedang apa kau di sini?” Tanyanya masih
terengah-engah.
Aku menyipitkan mataku. “Bukankah
harusnya aku yang bertanya?” Ucapku datar.
“Oh, umm.. aku ingin minta maaf
padamu. Aku mencari-carimu di pesta bahkan aku bertanya pada teman sekamarmu.
Dan ia bilang kau tidak datang ke pesta. Aku merasa sangat bersalah. Makanya
aku mencari-carimu. Dan untungnya aku menemukanmu.” Jelasnya. Entah musim
dingin ini berganti menjadi musim panas tapi aku merasa udara di sekelilingku
menjadi panas.
“Kau mau memaafkan aku?” Tanya Draco.
Aku menangkap nada tulus darinya. Sangat aneh.
“Kau tidak sakit kan Draco?” aku
mengerutkan kening sangat bingung dengan yang terjadi.
“Tidak tentu saja. Ada yang salah
memangnya?” Draco tertawa. Aku merasa perutku bergejolak mendengar tawanya.
“Kau meminta maaf duluan adalah hal
paling tidak wajar di dunia ini.” Ujarku berusaha payah dengan nada datar untuk
menyembunyikan perasaanku saat ini.
Draco memasang ekspresi tersinggung.
“Salahkah aku meminta maaf?”
“Tidak, tidak. Maksudku.. errr” Yap
sekarang aku yang merasa bersalah.
“Jadi kau mau menerima permintaan maaf
aku tidak?”
“Errr... Ya baiklah. Lagi pula itu
sudah terjadi.”
Draco tersenyum senang dan aku tidak
bisa bernafas. “Terima kasih. Kau sangat baik ternyata. Anyway, kenapa kau tak datang ke pesta?”
“Aku sedang malas saja.” Jawabku sesimple
mungkin. Aku ingin percakapan ini selesai.
“Ok. Umm.. Sepertinya aku harus
kembali ke pesta. Aku takut teman-temanku mencari-cari aku. sekali lagi terima
kasih ya.” Draco membelai halus rambutku dan langsung pergi ke arah Aula Besar.
Selama ini hanya Josh yang berani membelai rambutku. Dan Draco melakukannya
seakan kami sudah sangat akrab.
Aku berjalan menuju asramaku. Saat
sampai di kamarku aku melihat Luna sedang menelungkup di atas kasurnya sembari
membaca majalah The Quibbler. Aku melihat 4 loyan pie kosong di sampingnya. Dan
aku melihat pie ku berada di atas laci mejaku.
“Bagaimana?” Tanya Luna tanpa beralih
dari majalahnya.
“Ini malam yang gila.” Aku menutup
pintu di belakangku dan langsung berbaring ke kasurku.
“Aku tidak akan menyangkalnya.”
“Ini serius Luna..” aku menceritakan
semua kisahku dalam versi. Luna tidak bereaksi. Dan aku menunggunya. Lalu
tiba-tiba Luna menutup majalahnya dan menengok ke arahku.
“Aku tidak pandai memberi saran. Tapi
kalau kau ingin dengar, menurutku laki-laki itu seperti malam ini.” Ucap Luna.
“Maksudmu?” Aku menautkan alisku.
“Penuh rahasia. Menyembunyikan yang
sang bulan dan bintang-bintang.” Ujar Luna lalu menengok ke arah jendela. Dan
saat itu aku bersumpah tidak akan membicarakan tentang Draco dengan Luna. Aku
sungguh tidak mengerti yang dimaksudkannya.
“Aku akan mengambil beberapa pie lagi.
Mungkin rasa pisang akan enak.” Luna bangkit dari tempat tidurnya dan keluar
kamar. Luna adalah satu-satunya gadis mungil yang aku kenal yang banyak makan.
Aku berbaring di atas kasurku masih
bertanya-tanya dengan yang terjadi tadi. Aku yakin ini bukan mimpi. Aku menutup
mataku dan terlelap dalam tidur tanpa mimpi.
No comments:
Post a Comment