Friday, August 10, 2012

Fanfict 2 part 7


Tanpa aku sadari aku sudah dikelilingi oleh beberapa murid Slytherin. Dan di hadapanku, menatap dengan curiga, sosok yang membuat hari-hariku bahagia, Draco. Pansy yang sejak tadi tersenyum licik, membuka suara lebih dahulu.

“Upss. Sepertinya ada yang terjebak dalam masalah.”

Kulihat alis Draco mengkerut. Wajahnya tidak memancarkan keakraban lagi. Dia menatapku seolah aku orang asing yang memasuki wilayahnya. Sepercik amarah tersulut di dalam diriku. Rasa ingin melawan.

“Jadi, apa maksud dari semua ini, Draco?” Tantangku.

Alis Draco terangkat, sementara aku memincingkan mataku. Genggaman tanganku menguat. Kuambil langkah pendek ke depan. Gigiku gemetaran. Api kecil itu sudah berkobar-kobar dalam diriku. Tapi Draco tidak memberikan ekspresi takut, khawatir, ataupun gelisah. Dengan muka datarnya, ia membalas semua gerakanku dengan menyilakan tangannya dan menyeringai.

“Baru sadarkah kau? How pitty you are!

Api dalam diriku semakin membesar. Kuarahkan kepalan tanganku ke arah mukanya. Terdengar bunyi hantaman. Draco terjatuh ke lantai perpustakaan. Semua orang tercekat. Tubuhku masih bergetar hebat akibat dari tindakakanku tadi. Kutarik napas panjang. Berharap tubuhku tenang kembali.

You’re right.” Balasku. 

Aku berjalan melewati tubuh Draco yang masih terkulai di lantai. Terdengar pekikkan Pansy, menanyakan keadaan Draco. Setelah berada di luar perpustakaan, aku sedikit limbung. Kutarik napas panjang lagi sembari menutup mata. Terasa mataku sedikit panas. Kurasakan basahnya air mata. Tidak. Aku tak boleh menangis untuk lelaki tidak berguna itu. Aku harus secepatnya kembali ke asrama. Aku langkahkan kakiku dengan mantap. Air mataku kembali merebak. Kupercepat jalanku. Mendorong seorang murid Ravenclaw saat ia selesai menjawab teka-teki pintu asrama. Aku berlari saat sudah mencapai tangga asrama. Membuka pintu kamarku lalu membantingnya. Napasku terengah-engah. Kulihat Hest manatapku bingung. Aku berlari ke arahnya, memeluknya, dan menangis dalam dekapannya. Dadaku terasa sakit. Hest hanya diam dan membelas pelukanku. Perlahan ia membelai punggungku. Berusaha menenangkanku. Tapi Aku berteriak dalam sedu tangis.

Kabar tentang aku meninju Draco tersebar luas dalam sehari. Dengan ditambahi bumbu-bumbu di cerita itu. Aku jamin bahwa itu karangan dari Pansy. Seharian kemarin aku diwawancarai dan diceramahi oleh Lucie. Dilain pihak, Josh malah membuang muka saat bertatapan atau berpapasan denganku. Aku bertanya ke Lucie, tapi ia hanya mengangkat bahu, tidak tahu apapun.

Aku menjadi musuh nomor satu di Slytherin. Mereka berang karna aku telah memberi lebam di muka salah satu murid emas Slytherin. Apakah aku merasa terintimidasi? Tentu tidak. Karna berdasarkan hasil pengamatan Hest, mayoritas dari murid-murid Gryffindor dan Hufflepuff mendukungku. Ravenclaw? Tentu saja mereka berada dipihakku.

Tapi tetap saja ada rasa mengganjal di hati setiap aku berpikir tentang Josh. Apakah dia kecewa padaku karna sempat mempercayai Draco? Atau karna aku telah berperilaku kasar sebagai murid Ravenclaw? Harusnya dia bilang kepadaku jika ada yang salah. Bukannya menjauh seperti ini. Amarah kembali tersulut dalam benakku. Ingin sekali aku mendatangin si bodoh Josh. Apa perlu aku meninjunya juga? Sungguh menyebalkan.

2 minggu kuhabiskan dalam perang bisu dengan Josh. Lucie mencoba mengakrabkan aku dengan Josh kembali. Dari mulai selalu membicarakan aku di depan Josh atau sebaliknya hingga berusaha mempertemukan kami di Hogsmeade. Tapi semuanya gagal total.

“Aku menyerah dengan kalian berdua.” Ucapnya Lucie saat makan malam di Aula Besar.

It’s okay. Aku juga tidak mau berbaikan dengan si Rubah.” Balasku sinis.

Are u kidding? Kalian berdua sudah seperti adik-kakak. Tidak seharusnya kalian bertengkar untuk alasan yang tidak jelas.” Sergah Lucie.

Aku mengangkat bahu dan terus memainkan spaghettiku. Di sebrang meja, kulihat Draco sedang menatap tajam ke arahku. Rasa sakitku terhadapnya sudah menghilang. Rasa kagumku pun turut pergi. Tapi aku tidak takut lagi mendapatkan tatapan tajam dari siapapun, termasuk Draco. Jadi, kubalas tatapannya dengan mengangkat gelas jus labuku. Melakukan gerakan bersulang dengan senyum sombong. Kulihat dia mendengus kesal.

Saat aku memalingkan mukaku, tatapanku bertabrakan dengan Josh yang duduk di ujung meja. Menatap dengan muka datar. Rasa kesal dari hatiku membuat aku membuang muka dan kembali menatap spaghettiku.

“Ummm Lucie. Aku ingin memperingatkan kau. Hati-hatilah terhadap Draco.” Ucapku lalu berdiri untuk kembali menuju asrama.

Fanfict 2 (Part 6)


*1 bulan kemudian*

Lucie menatapku seakan aku adalah siswi yang ternyata teroris nomor satu di dunia. Tangannya mencengkram pundakku seakan elang mencengkram ikannya.

“Kau tak pernah bilang padaku bahwa kau dekat dengan Draco sekarang.”

Aku menelan ludah. Bukannya tidak mau menceritakan. Tapi aku yakin kalau aku cerita pada Lucie, Hest, dan Arina mereka pasti menentang hubungan pertemananku dengan Draco.

“O-oh ya?” gagapku. “Aku lupa tuh.”

Lucie memincingkan matanya. Melepas cengkraman pada pundakku lalu menyilakan kedua tangannya. Pertanda ia akan ceramah panjang.

“Lebih baik kau menjauh deh. Kau tahu kan kalau dia itu jahat. Aku takutnya kau dimanfaatkan. Oke kita berpikir positif. Dia merasa bersalah padamu, lalu meminta maaf. Tapi akan aneh bukan kalau dia lalu mendekatimu? Aku tahu..” Ucapnya saat aku mau menyela ceramahnya. “Aku tahu kalau tak bagus berpikiran negatif. Tapi aku tak melihat hal postif yang sedang dilakukan Draco.”

Aku menundukkan wajah. Entah harus membalas apa. Lucie benar. Harusnya aku curiga dengan tingkah Draco kepadaku 1 bulan terakhir ini. Selalu berjalan bersamaku jika bertemu di lorong, duduk di sampingku jika kita bertemu di taman, dan semua surat-surat itu. Aku sempat risih dengan semua itu, tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku bahagia. Rasanya seperti mimpimu tinggal sejengkal dari uluran tanganmu.

Aku menghela napas dan mengangkat wajahku. “Aku akan mencoba lebih membuka mataku dan berhati-hati.”

Lucie ingin memprotes, tapi terdiam kembali. “Oke. Aku tahu kau pasti senang dengan semuanya.”

Kuangkat bahuku. Entah artinya setuju atau tidak tahu. Aku tidak peduli. Tiba-tiba tatapan Lucie menjadi sedikit ‘layu’.
 
“Ada apa?”

Lucie menundukkan kepalanya. “Aku capek.”

Hening. Aku tak tahu apa aku harus komentar atau bertanya. Aku hanya diam. Kode bahwa aku ingin dia meneruskan ceritanya.

“Kau tahu kan bagaimana kedekatanku dengan Josh sekarang?” Tanyanya. Aku menggangguk tipis. “Aku sudah memberikan ‘sinyal-sinyal’ kepada Josh tentang perasaanku, tapi dia tidak menyadarinya. Aku bingung harus bagaimana. Atau aku menyatakan perasaannya lebih dulu?”

Sesuatu menghantam perutku. Rasa mual menjalari setiap sisi lambungku. Apa yang terjadi padaku? Aku bisa merasakan keringat dingin keluar dari setiap pori-pori punggungku. Aku berusaha berpikir positif. Mungkin aku sedang sakit sesuatu.

“ALVVV!!!!”

Aku tersentak dari pikiranku dan memandang bingung ke arah Lucie. “I’m talking with you.

Aku nyengir kuda. “Maaf. Well, kalau menurutmu memang itu yang terbaik, coba saja. I just can hope the best for you Lucie. Semoga Josh merasakan hal yang sama.”

Lucie tersenyum masam. “I hope so.

Perpustakaan sepi melompong. Tak ada satu murid pun. Hanya Madam Pince yang terlihat merapihkan buku. Aku menaruh tasku dan mengambil sembarang buku. Biasanya aku ditemani Draco disini. Tapi anehnya hari ini aku belum bertemu dengannya. Rindu memang. Tapi apa hakku untuk rindu padanya?

“Kau tidak bersama dengannya lagi?”

Suara asing datang dari koridor rak buku di depanku. Suara yang tak asing. Tapi aku memang tak pernah menghafal suara orang lain.

“Yeah. Sepertinya kau sudah bosan dengannya.”

Aku mulai risih. Apa mereka tak tahu apa yang orang lakukan di perpustakaan? Aku bangkit dari dudukku dan berjalan ke rak sebelah.

“Iya. Dia sangat-sangat membosankan.”

Kakiku membeku dalam sekejap. Tanganku bergetar hebat. Jantungku berdegup tidak karuan. Napasku menjadi lebih sesak. Suara itu. Suara yang menemaniku satu bulan kebelakang. Suara lembut itu. Tidak. Suara yang tadi kudengar ini tidak bernada lembut dan penuh kasih sayang. Tapi angkuh dan cuek.

“Jadi, kau menyerah, Draco?”

“Ck. Sepertinya aku harus pergi meninggalkan Alvyna. Josh sudah punya yang baru. Si Luciana dari Ravenclaw. Mungkin aku akan merebutnya.”

“Hey!”

Aku tersentak dari kebekuanku. Sebuah tangan menepuk pundakku. Aku membalikkan badan dan menemukan Pansy sedang di depanku dengan senyum licik.

“Menguping itu tidak bagus, Nona.”

Habis sudah aku.