Tanpa aku sadari
aku sudah dikelilingi oleh beberapa murid Slytherin. Dan di hadapanku, menatap
dengan curiga, sosok yang membuat hari-hariku bahagia, Draco. Pansy yang sejak
tadi tersenyum licik, membuka suara lebih dahulu.
“Upss.
Sepertinya ada yang terjebak dalam masalah.”
Kulihat alis
Draco mengkerut. Wajahnya tidak memancarkan keakraban lagi. Dia menatapku
seolah aku orang asing yang memasuki wilayahnya. Sepercik amarah tersulut di
dalam diriku. Rasa ingin melawan.
“Jadi, apa
maksud dari semua ini, Draco?” Tantangku.
Alis Draco
terangkat, sementara aku memincingkan mataku. Genggaman tanganku menguat.
Kuambil langkah pendek ke depan. Gigiku gemetaran. Api kecil itu sudah
berkobar-kobar dalam diriku. Tapi Draco tidak memberikan ekspresi takut,
khawatir, ataupun gelisah. Dengan muka datarnya, ia membalas semua gerakanku
dengan menyilakan tangannya dan menyeringai.
“Baru sadarkah
kau? How pitty you are!”
Api dalam
diriku semakin membesar. Kuarahkan kepalan tanganku ke arah mukanya. Terdengar
bunyi hantaman. Draco terjatuh ke lantai perpustakaan. Semua orang tercekat.
Tubuhku masih bergetar hebat akibat dari tindakakanku tadi. Kutarik napas
panjang. Berharap tubuhku tenang kembali.
“You’re right.” Balasku.
Aku berjalan
melewati tubuh Draco yang masih terkulai di lantai. Terdengar pekikkan Pansy,
menanyakan keadaan Draco. Setelah berada di luar perpustakaan, aku sedikit limbung.
Kutarik napas panjang lagi sembari menutup mata. Terasa mataku sedikit panas.
Kurasakan basahnya air mata. Tidak. Aku tak boleh menangis untuk lelaki tidak
berguna itu. Aku harus secepatnya kembali ke asrama. Aku langkahkan kakiku
dengan mantap. Air mataku kembali merebak. Kupercepat jalanku. Mendorong
seorang murid Ravenclaw saat ia selesai menjawab teka-teki pintu asrama. Aku
berlari saat sudah mencapai tangga asrama. Membuka pintu kamarku lalu
membantingnya. Napasku terengah-engah. Kulihat Hest manatapku bingung. Aku
berlari ke arahnya, memeluknya, dan menangis dalam dekapannya. Dadaku terasa
sakit. Hest hanya diam dan membelas pelukanku. Perlahan ia membelai punggungku.
Berusaha menenangkanku. Tapi Aku berteriak dalam sedu tangis.
Ω
Kabar tentang
aku meninju Draco tersebar luas dalam sehari. Dengan ditambahi bumbu-bumbu di
cerita itu. Aku jamin bahwa itu karangan dari Pansy. Seharian kemarin aku
diwawancarai dan diceramahi oleh Lucie. Dilain pihak, Josh malah membuang muka
saat bertatapan atau berpapasan denganku. Aku bertanya ke Lucie, tapi ia hanya
mengangkat bahu, tidak tahu apapun.
Aku menjadi
musuh nomor satu di Slytherin. Mereka berang karna aku telah memberi lebam di
muka salah satu murid emas Slytherin. Apakah aku merasa terintimidasi? Tentu
tidak. Karna berdasarkan hasil pengamatan Hest, mayoritas dari murid-murid
Gryffindor dan Hufflepuff mendukungku. Ravenclaw? Tentu saja mereka berada
dipihakku.
Tapi tetap saja
ada rasa mengganjal di hati setiap aku berpikir tentang Josh. Apakah dia kecewa
padaku karna sempat mempercayai Draco? Atau karna aku telah berperilaku kasar
sebagai murid Ravenclaw? Harusnya dia bilang kepadaku jika ada yang salah.
Bukannya menjauh seperti ini. Amarah kembali tersulut dalam benakku. Ingin
sekali aku mendatangin si bodoh Josh. Apa perlu aku meninjunya juga? Sungguh
menyebalkan.
2 minggu
kuhabiskan dalam perang bisu dengan Josh. Lucie mencoba mengakrabkan aku dengan
Josh kembali. Dari mulai selalu membicarakan aku di depan Josh atau sebaliknya
hingga berusaha mempertemukan kami di Hogsmeade. Tapi semuanya gagal total.
“Aku menyerah
dengan kalian berdua.” Ucapnya Lucie saat makan malam di Aula Besar.
“It’s okay. Aku juga tidak mau berbaikan
dengan si Rubah.” Balasku sinis.
“Are u kidding? Kalian berdua sudah
seperti adik-kakak. Tidak seharusnya kalian bertengkar untuk alasan yang tidak
jelas.” Sergah Lucie.
Aku mengangkat
bahu dan terus memainkan spaghettiku.
Di sebrang meja, kulihat Draco sedang menatap tajam ke arahku. Rasa sakitku
terhadapnya sudah menghilang. Rasa kagumku pun turut pergi. Tapi aku tidak
takut lagi mendapatkan tatapan tajam dari siapapun, termasuk Draco. Jadi,
kubalas tatapannya dengan mengangkat gelas jus labuku. Melakukan gerakan
bersulang dengan senyum sombong. Kulihat dia mendengus kesal.
Saat aku
memalingkan mukaku, tatapanku bertabrakan dengan Josh yang duduk di ujung meja.
Menatap dengan muka datar. Rasa kesal dari hatiku membuat aku membuang muka dan
kembali menatap spaghettiku.
“Ummm Lucie.
Aku ingin memperingatkan kau. Hati-hatilah terhadap Draco.” Ucapku lalu berdiri
untuk kembali menuju asrama.
No comments:
Post a Comment