Friday, August 10, 2012

Fanfict 2 (Part 6)


*1 bulan kemudian*

Lucie menatapku seakan aku adalah siswi yang ternyata teroris nomor satu di dunia. Tangannya mencengkram pundakku seakan elang mencengkram ikannya.

“Kau tak pernah bilang padaku bahwa kau dekat dengan Draco sekarang.”

Aku menelan ludah. Bukannya tidak mau menceritakan. Tapi aku yakin kalau aku cerita pada Lucie, Hest, dan Arina mereka pasti menentang hubungan pertemananku dengan Draco.

“O-oh ya?” gagapku. “Aku lupa tuh.”

Lucie memincingkan matanya. Melepas cengkraman pada pundakku lalu menyilakan kedua tangannya. Pertanda ia akan ceramah panjang.

“Lebih baik kau menjauh deh. Kau tahu kan kalau dia itu jahat. Aku takutnya kau dimanfaatkan. Oke kita berpikir positif. Dia merasa bersalah padamu, lalu meminta maaf. Tapi akan aneh bukan kalau dia lalu mendekatimu? Aku tahu..” Ucapnya saat aku mau menyela ceramahnya. “Aku tahu kalau tak bagus berpikiran negatif. Tapi aku tak melihat hal postif yang sedang dilakukan Draco.”

Aku menundukkan wajah. Entah harus membalas apa. Lucie benar. Harusnya aku curiga dengan tingkah Draco kepadaku 1 bulan terakhir ini. Selalu berjalan bersamaku jika bertemu di lorong, duduk di sampingku jika kita bertemu di taman, dan semua surat-surat itu. Aku sempat risih dengan semua itu, tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku bahagia. Rasanya seperti mimpimu tinggal sejengkal dari uluran tanganmu.

Aku menghela napas dan mengangkat wajahku. “Aku akan mencoba lebih membuka mataku dan berhati-hati.”

Lucie ingin memprotes, tapi terdiam kembali. “Oke. Aku tahu kau pasti senang dengan semuanya.”

Kuangkat bahuku. Entah artinya setuju atau tidak tahu. Aku tidak peduli. Tiba-tiba tatapan Lucie menjadi sedikit ‘layu’.
 
“Ada apa?”

Lucie menundukkan kepalanya. “Aku capek.”

Hening. Aku tak tahu apa aku harus komentar atau bertanya. Aku hanya diam. Kode bahwa aku ingin dia meneruskan ceritanya.

“Kau tahu kan bagaimana kedekatanku dengan Josh sekarang?” Tanyanya. Aku menggangguk tipis. “Aku sudah memberikan ‘sinyal-sinyal’ kepada Josh tentang perasaanku, tapi dia tidak menyadarinya. Aku bingung harus bagaimana. Atau aku menyatakan perasaannya lebih dulu?”

Sesuatu menghantam perutku. Rasa mual menjalari setiap sisi lambungku. Apa yang terjadi padaku? Aku bisa merasakan keringat dingin keluar dari setiap pori-pori punggungku. Aku berusaha berpikir positif. Mungkin aku sedang sakit sesuatu.

“ALVVV!!!!”

Aku tersentak dari pikiranku dan memandang bingung ke arah Lucie. “I’m talking with you.

Aku nyengir kuda. “Maaf. Well, kalau menurutmu memang itu yang terbaik, coba saja. I just can hope the best for you Lucie. Semoga Josh merasakan hal yang sama.”

Lucie tersenyum masam. “I hope so.

Perpustakaan sepi melompong. Tak ada satu murid pun. Hanya Madam Pince yang terlihat merapihkan buku. Aku menaruh tasku dan mengambil sembarang buku. Biasanya aku ditemani Draco disini. Tapi anehnya hari ini aku belum bertemu dengannya. Rindu memang. Tapi apa hakku untuk rindu padanya?

“Kau tidak bersama dengannya lagi?”

Suara asing datang dari koridor rak buku di depanku. Suara yang tak asing. Tapi aku memang tak pernah menghafal suara orang lain.

“Yeah. Sepertinya kau sudah bosan dengannya.”

Aku mulai risih. Apa mereka tak tahu apa yang orang lakukan di perpustakaan? Aku bangkit dari dudukku dan berjalan ke rak sebelah.

“Iya. Dia sangat-sangat membosankan.”

Kakiku membeku dalam sekejap. Tanganku bergetar hebat. Jantungku berdegup tidak karuan. Napasku menjadi lebih sesak. Suara itu. Suara yang menemaniku satu bulan kebelakang. Suara lembut itu. Tidak. Suara yang tadi kudengar ini tidak bernada lembut dan penuh kasih sayang. Tapi angkuh dan cuek.

“Jadi, kau menyerah, Draco?”

“Ck. Sepertinya aku harus pergi meninggalkan Alvyna. Josh sudah punya yang baru. Si Luciana dari Ravenclaw. Mungkin aku akan merebutnya.”

“Hey!”

Aku tersentak dari kebekuanku. Sebuah tangan menepuk pundakku. Aku membalikkan badan dan menemukan Pansy sedang di depanku dengan senyum licik.

“Menguping itu tidak bagus, Nona.”

Habis sudah aku.

No comments: