*1 bulan
kemudian*
Lucie menatapku
seakan aku adalah siswi yang ternyata teroris nomor satu di dunia. Tangannya
mencengkram pundakku seakan elang mencengkram ikannya.
“Kau tak pernah
bilang padaku bahwa kau dekat dengan Draco sekarang.”
Aku menelan ludah.
Bukannya tidak mau menceritakan. Tapi aku yakin kalau aku cerita pada Lucie,
Hest, dan Arina mereka pasti menentang hubungan pertemananku dengan Draco.
“O-oh ya?”
gagapku. “Aku lupa tuh.”
Lucie
memincingkan matanya. Melepas cengkraman pada pundakku lalu menyilakan kedua
tangannya. Pertanda ia akan ceramah panjang.
“Lebih baik kau
menjauh deh. Kau tahu kan kalau dia itu jahat. Aku takutnya kau dimanfaatkan.
Oke kita berpikir positif. Dia merasa bersalah padamu, lalu meminta maaf. Tapi
akan aneh bukan kalau dia lalu mendekatimu? Aku tahu..” Ucapnya saat aku mau
menyela ceramahnya. “Aku tahu kalau tak bagus berpikiran negatif. Tapi aku tak
melihat hal postif yang sedang dilakukan Draco.”
Aku menundukkan
wajah. Entah harus membalas apa. Lucie benar. Harusnya aku curiga dengan
tingkah Draco kepadaku 1 bulan terakhir ini. Selalu berjalan bersamaku jika
bertemu di lorong, duduk di sampingku jika kita bertemu di taman, dan semua
surat-surat itu. Aku sempat risih dengan semua itu, tapi aku tak bisa
membohongi diriku sendiri bahwa aku bahagia. Rasanya seperti mimpimu tinggal
sejengkal dari uluran tanganmu.
Aku menghela
napas dan mengangkat wajahku. “Aku akan mencoba lebih membuka mataku dan
berhati-hati.”
Lucie ingin
memprotes, tapi terdiam kembali. “Oke. Aku tahu kau pasti senang dengan
semuanya.”
Kuangkat
bahuku. Entah artinya setuju atau tidak tahu. Aku tidak peduli. Tiba-tiba
tatapan Lucie menjadi sedikit ‘layu’.
“Ada apa?”
Lucie
menundukkan kepalanya. “Aku capek.”
Hening. Aku tak
tahu apa aku harus komentar atau bertanya. Aku hanya diam. Kode bahwa aku ingin
dia meneruskan ceritanya.
“Kau tahu kan
bagaimana kedekatanku dengan Josh sekarang?” Tanyanya. Aku menggangguk tipis.
“Aku sudah memberikan ‘sinyal-sinyal’ kepada Josh tentang perasaanku, tapi dia
tidak menyadarinya. Aku bingung harus bagaimana. Atau aku menyatakan
perasaannya lebih dulu?”
Sesuatu
menghantam perutku. Rasa mual menjalari setiap sisi lambungku. Apa yang terjadi
padaku? Aku bisa merasakan keringat dingin keluar dari setiap pori-pori
punggungku. Aku berusaha berpikir positif. Mungkin aku sedang sakit sesuatu.
“ALVVV!!!!”
Aku tersentak
dari pikiranku dan memandang bingung ke arah Lucie. “I’m talking with you.”
Aku nyengir
kuda. “Maaf. Well, kalau menurutmu
memang itu yang terbaik, coba saja. I just
can hope the best for you Lucie. Semoga Josh merasakan hal yang sama.”
Lucie tersenyum
masam. “I hope so.”
Ω
Perpustakaan
sepi melompong. Tak ada satu murid pun. Hanya Madam Pince yang terlihat merapihkan
buku. Aku menaruh tasku dan mengambil sembarang buku. Biasanya aku ditemani
Draco disini. Tapi anehnya hari ini aku belum bertemu dengannya. Rindu memang.
Tapi apa hakku untuk rindu padanya?
“Kau tidak
bersama dengannya lagi?”
Suara asing
datang dari koridor rak buku di depanku. Suara yang tak asing. Tapi aku memang
tak pernah menghafal suara orang lain.
“Yeah.
Sepertinya kau sudah bosan dengannya.”
Aku mulai
risih. Apa mereka tak tahu apa yang orang lakukan di perpustakaan? Aku bangkit
dari dudukku dan berjalan ke rak sebelah.
“Iya. Dia
sangat-sangat membosankan.”
Kakiku membeku
dalam sekejap. Tanganku bergetar hebat. Jantungku berdegup tidak karuan. Napasku menjadi lebih sesak. Suara itu. Suara yang
menemaniku satu bulan kebelakang. Suara lembut itu. Tidak. Suara yang tadi kudengar
ini tidak bernada lembut dan penuh kasih sayang. Tapi angkuh dan cuek.
“Jadi, kau
menyerah, Draco?”
“Ck. Sepertinya
aku harus pergi meninggalkan Alvyna. Josh sudah punya yang baru. Si Luciana
dari Ravenclaw. Mungkin aku akan merebutnya.”
“Hey!”
Aku tersentak
dari kebekuanku. Sebuah tangan menepuk pundakku. Aku membalikkan badan dan
menemukan Pansy sedang di depanku dengan senyum licik.
“Menguping itu
tidak bagus, Nona.”
Habis sudah
aku.
No comments:
Post a Comment