“Eh dia kenapa?”
“Kok nangis?”
“Biarkan lah! Paling masalah cinta! Lembek banget sih tuh cewek!”
“Kamu ngak apa-apa?”
Listrik di perutku akhirnya membuat kepalaku terangkat juga. Sejak tadi aku mendengar semua komentar murid-murid yang aku lewati. Dan hanya suara ini yang membuat aku menengadah.
“Rubah? Eh maksudku Kakak? Oh, aku ngak apa-apa kok kak” aku mencoba menyunggingkan sebuah senyum. Tapi gagal.
“Ikut aku” ia menarikku entah kemana.
Setelah berjalan menelusuri koridor-koridor yang entah kenapa menjadi asing dipikiranku, akhirnya aku mengenal koridor yang satu ini. Koridor menuju Asrama Ravenclaw. Asrama yang terletak di salah satu menara paling tinggi di Hogwarts ini merupakan asramaku. Sampai sekarang aku masih bingung kenapa aku terpilih ke ravenclaw. Aku sangat mengagumi Asrama Slytherin, tapi topi itu bilang aku tidak seburuk yang aku pikirkan. Apa yang dia tau tentang aku? dasar topi kusut berlubang!
“Sudah aku bilang sebelumnya bahwa itu tindakan bodoh!”
Aku tersadar dari lamunanku. “Ma-maaf” gagapku.
Kami akhirnya masuk ke dalam asrama. Dia lalu membawaku ke salah satu sofa di dekat jendela dengan pemandangan hutan terlarang. Untungnya tidak ada murid yang berada di situ.
“Kenapa kau masih melakukannya padahal sudah aku larang?”
“Aku tidak tahu. Kami berpapasan dan tiba-tiba semua kalimat itu keluar.” Ucapku setengah berbisik. Air mataku hampir turun kembali saat mengingat hal itu.
“Alvyna Jean Sparrow! Sejak kapan kau menjadi cengeng seperti itu?” bentaknya.
Aku tersentak melihatnya membentakku. “Walau aku adalah gadis yang kuat, bukan berarti aku ngak boleh nangis kan?” balasku membentak.
Dia terkesiap. Lalu memasang senyum itu.”Huh. Itu Alvyna yang aku kenal. Kamu memang gadis kuat, tapi kamu ngak pantes nangis tahu!” lalu dia mengusap pelan poniku.
Aku menjauhkan tangannya dari kepalaku. “Kau tau aku ngak suka diperlakukan seperti itu! Apa hakmu memberantakkan poniku?”
“Saat di Koridor tadi ku memanggilku dengan sebutan “kakak” sekarang mana sopan satun mu?” ucapnya sambil menjulurkan lidah.
“RUBAH!!!!!!!!”
Well, Dia sebenarnya seniorku. Joshephin Waren Animo. Anak tunggal dari keluarga Animo. Animo berasal dari kata animagus. Yep dia adalah seorang animagus – rubah tepatnya - yang sudah terdaftar di Kementrian Sihir. Bagaimana dia bisa menjadi seorang animagus? Itu adalah gen. Leluhurnya semua adalah animagus. Well, aku tahu untuk menjadi animagus kita harus belajar atau berlatih. Tapi beda dengan Josh – panggilannya – dan keluarganya. Mereka adalah keturunan asli Falco Aesalon. Mereka percaya sebelum meninggal, Falco menggunakan sihir luar biasa yang membuat semua keturunannya menjadi animagus tanpa harus berlatih.
Kami adalah teman kecil yang sangat akrab. Dia beda satu tahun denganku. Aku pada tahun ke 4 di Hogwarts, sedangkan dia tahun ke 5 nya. Dan dialah yang terpilih menjadi prefek. Maka dari itu, aku harus memanggilnya kakak di depan semua murid. Aku tentunya tidak mau dibilang junior yang tidak tahu diri.
Aku adalah anak tunggal dari keluarga Sparrow. Di Godric’s Hollow aku terkenal dengan kebandelannya. Aku memuja segala hal tentang slytherin, dan aku bermuram durja saat tak bisa masuk asrama favoritku. Lain hal dengan Josh, dia memang berencana masuk ravenclaw sejak kecil. Aku dan Josh tinggal bersebelahan di Godric's Hollow. Orang tuaku dengan orang tuanya adalah sahabat baik. Mereka adalah auror. Kami sering berlibur bersama.
“Aku mau dengar ceritanya dari versi mu!” ucapnya dengan resmi, seperti saat dia bertanya kepada murid Ravenclaw alasan mereka keluar tengah malam.
“Aku tidak ..... Wait!! Versi ku? MEMANG ADA BERAPA VERSI???” teriakku.
“Well, teman-temanku yang melihat adegan itu langsung lapor kepadaku dengan versi mereka tentunya.” ucapnya sembari mengangkat bahu.
“AAAAAHH!! Aku bisa mati karena malu!!” raungku.
“Hey hey, tenang saja! Sejak kapan kau jadi sensitif sepert ini sih?”
“Aku tidak minta komentarmu rubah!”
“Oke oke. Just tell me what happened!”
Well, aku tau pasti cepat atau lambat aku akan menceritakan kejadian itu lagi. Tapi kenapa harus secepat ini? Aku masih tertekan dengan semuanya!
“Berikan aku waktu oke?”
“Semakin kau menunda untuk menceritakannya, semakin sakit yang akan kau rasakan! Lebih cepat lebih baik vyn!”
“Kau ingin aku menangis lagi?” ucapku dengan sinis.
“Lebih baik kau keluarkan tangisanmu itu daripada menahannya.” Ucapnya bijak.
Well, dia benar dan aku tak bisa membatahnya kali ini. Oke, it’s the story begun.
No comments:
Post a Comment