“Hello, My name is Anandia Martha Yuniati,”
Seseorang
mengacungkan tangannya. Seorang laki-laki dengan penampilan paling berantakkan
yang pernah aku temui.
“Lo bisa bahasa
Indonesia nggak, sih? Nggak usah sok formal pakai bahasa Inggris hanya karna lo
sekolah di Sekolah Internasional deh,”
Semua murid di
kelas itu sontak tersenyum-seyum menahan tawa. Bagian mana yang lucunya?
“Jaga sikapmu,
Keyfa!” Tegur Bu Guru.
“Little bit,” Balasku datar. “Boleh saya
duduk sekarang, Ma’am?”
“Tentu
tentu.......” Bu Guru itu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas. “Kamu
duduk dengan Keyfa saja. Kebetulan teman duduknya sedang absen.”
Aku mengangkat
alisku. Dengan orang itu? Tidak salah? Aku akan membantah ketika kuamati
lekat-lekat wajah guruku. Wajah yang sangat ramah. Kata-kata yang sudah diujung
lidahku harus ku telan kembali. Aku mengangguk hormat lalu berjalan ke tempat
aku harus duduk.
“Jadi,
Anan....”
Aku banting
pelan tasku lalu duduk. Aku tidak ingin membuat kekacauan di hari pertamaku. “Panggil
saya Artha,”
Orang itu
tersenyum mengenjek. Betul-betul tampang yang sangat menyebalkan.
“Terserah deh.
Jadi, lo itu bule, hah?”
Aku pandang
laki-laki itu. “Apa maksud anda dengan kata ‘bule’ tadi?”
Laki-laki
bernama Keyfa itu melongo. Aku mendengus melihat ekspresinya itu. “Jujur, saya
kagum dengan namamu. It’s a good name.
But it’s not suit with your attitude,” Komentarku.
Wajah laki-laki
itu semakin tak terkontrol. Sungguh pemandangan yang lucu.
***
“You came from France? Really?”
“Why do you come back to Indonesia? France
is better than Indonesia, isn’t it?”
“How the guy in there? Omg!! I want to go to
France someday,”
“Kalian
apa-apaan, sih?! Norak tahu nggak. Dia tuh orang Indonesia. Nggak usah sok
ngomong pakai Bahasa Inggris. Bahasa nasional kita kan Bahasa Indonesia. Urusan
dia kalau dia nggak ngerti apa yang kita omongin!”
Aku terperanjat
mendengar suara keras Keyfa. Untung saja Bu Guru tadi sudah keluar. Aku
tak
ingin melihat wanita seperti dia marah-marah. Aku memang berasal dari
Perancis.
Mamaku adalah orang Perancis dan ayahku orang Indonesia. Akibatnya aku
mempunyai rambut hitam legam, badan proporsional, kulit yang lebih putih
dari orang asia
umumnya, dan mata berwarna abu-abu. Aku tinggal di Indonesia dari lahir
hingga
umur 7 tahun. Lalu ayahku ditugaskan ke Perancis, hingga aku kembali ke
Indonesia lagi.
“Ih, Keyfa!
Biasa aja kali. Reaksi lo lebay tahu,” Ujar perempuan yang memperkenalkan
dirinya dengan nama Ratih.
Aku mengerutkan
alis. “Apa itu ‘lebay’?”
“It means... Umm.. Acting more than it should
be,” Balas Ratih dengan senyum yang super ramah. Tapi ramah yang terlalu
dibuat-buat.
Aku lihat Keyfa
menggedikkan bahu seperti merinding kedinginan. “Norak banget sih lo, Ratih!
Dia aja nanyanya pakai Bahasa Indonesia, lo jawabnya sok pakai Bahasa Inggris.
Reva! Tuker bangku, yuk! Bisa mendadak gila gue disini,” Teriak Keyfa ke salah
satu laki-laki di sudut kelas.
“Nggak, deh. Lo
sih duduk di depan. Hari ini ulangan Bahasa Jepang. Kan gue ogah ulangan
berhadapan langsung dengan Sensei.”
Teriak laki-laki yang dipanggil Reva tadi. Keyfa mendengus karna harus menerima
nasibnya terperangkap denganku.
“Yaudeh. Lo
tuker sama gue aja, Fa! Noh, lo duduk sama Megan. Biar gue duduk sama Artha...”
Ratih menengok ke arahku dengan wajah yang berseri-seri. “Is it okay if i’m being your chairmate?”
Belum sempat
aku membalas ucapannya, dia sudah melenggang pergi dan kembali membawa tas.
Lalu dia melakukan gerakkan seperti mengusir Keyfa. Bagian kecil dariku tak
ingin Keyfa pergi. Lebih baik aku terperangkap dengannya daripada dengan Ratih.
“If you need something, you can ask me. This
is my job as your friend.” Ujar Ratih yang sudah duduk di sampingku.
Friend, huh?
***
“So, your mother is a Gaul?”
Aku mengangguk
sekenanya. Ingin sekali aku pergi dari sini secepatnya. Suasana seketika
menghening saat dari pintu muncul seorang guru dengan wajah yang ‘killer’.
“Keluarkan
kertas selembar. Kita langsung ulangan. Dan untuk Anandia, kamu duduk saja.
Tidak perlu mengikuti ulangan hari ini,” Ucap Guru tersebut.
“She said that you...”
“Saya mengerti maksud Guru itu. Terima
kasih.” Ujarku dengan nada sinis. Ratih diam membisu dan lalu menulis di
kertas kosong yang sudah ia siapkan sedari tadi.
Suasana kelas
yang hening sungguh mendamaikanku hari ini. Dari tadi yang kulakukan hanya
menahan senyum melihat ekspresi muka setiap anak-anak di kelas itu. Tatapan ku
beralih ke sosok yang tiba-tiba berdiri dan melangkah ke arah meja guru. Keyfa.
“Kamu yakin
dengan jawabanmu, Keyfa?” Tanya Guru itu dengan nada yang curiga.
“Yakin 100
persen, Sensei! Bahasa Jepang kan
Bahasa Ibu saya,” Jawab Keyfa dengan humor.
Tatapanku terus
menancap ke arah Keyfa sampai dia meninggalkan kelas. Dari sudut mataku, aku
menangkap suatu gerakkan aneh di sampingku. Saat aku menengok, aku melihat
Ratih mengeluarkan sebuah buku dari laci meja.
“What are you doing?” Tanpa sadar aku
berteriak terlalu keras hingga perhatian seisi kelas terpusat padaku dan Ratih.
Cepat-cepat Ratih memasukkan kembali buku tadi.
“Ada apa,
Anandia? Tanya Pak Guru yang sudah berdiri di sampingku.
“Ratih
mengeluarkan sebuah buku dari laci, Sir!”
Jawabku sejujurnya.
Pak Guru itu
menangkat alis. “Benar begitu, Ratih?”
Ratih
menggeleng cepat. Lalu Guru itu memasukkan tangannya dan menarik sebuah buku.
Dibukanya buku itu. Kembali kulihat alis Guru itu menaik.
“Kamu boleh
menyusul Keyfa keluar kelas, Ratih.” Perintah Pak Guru.
“Ta—tapi,
sa-saya belum selesai, Sensei.” Ujar
Ratih dengan gagap.
“Tidak apa-apa.
Lagipula kertas ujianmu tak akan diperiksa oleh Bapak. Silahkan meninggalkan
kelas.” Ucap Pak Guru dan berjalan kembali ke mejanya.
Ratih sontak
menoleh ke arahku dengan tatapan berang sebelum ia keluar kelas. Aku bingung.
Apa salahku?
***
“Lo kok jahat
gitu, sih?” Serbu Ratih setelah Guru Bahasa Jepang itu meninggalkan kelas.
Aku diam. Tidak
tahu harus membalas bagaimana.
“Apaan, sih?”
Keyfa menyeruak dari kerumunan murid-murid yang sudah mengelilingiku. Sebagian
diantaranya kesal dengan ulahku. Sebagiannya lagi ingin tahu apa yang akan
terjadi.
“Gara-gara
Artha gue kena sama Sensei!” Adu
Ratih.
“Apa salah
saya?” Tanyaku bingung. Lalu kerumunan tersebut membisikkan kata-kata yang tak
bisa aku dengar.
“Lo polos
banget, sih? Apa salah gue sama lo? Gue udah baik sama lo. Gue bersedia bantuin
lo kalau lo perlu apa-apa. Gue mau berteman sama lo. Apa salah gue, hah?!”
Bentak Ratih.
Tidak semua
kata-kata Ratih dapat aku tangkap. Tapi ada satu kalimat yang langsung
tertancap di otakku.
Aku lalu
menatap bengis ke arah Ratih. Kerumunan itu sontak terdiam melihat tatapanku.
“Sejak awal, saya tak pernah mengakui anda sebagai teman saya.”
***
Aku menunggu
sopir Ayah datang menjemput. Sudah lebih dari 10 menit aku menunggu. Apakah tak
ada satu pun dari orang-orang di negara ini yang bisa datang tepat waktu?
“Hey!”
Aku terlonjak
mendengar suara itu. Dengan cepat aku menoleh dan mendapati Keyfa sedang
berjalan ke arahku.
“Ngapain lo?”
Tanyanya.
“Waiting.” Jawabku.
“Mau gue
temenin?”
Refleks aku
melongo. Dia menawarkan bantuan? Serius?
“Errr...
Bukannya apa-apa. Tapi gue nggak tega liat cewek sendirian sore-sore begini. Apalagi
cewek kayak lo. Terlalu menggoda buat diculik,” Tambahnya.
Aku mengangguk
singkat. Tidak baik menolak kebaikkan. Keyfa berdiri di sampingku sembari
memainkan handphonenya.
“Untung gue
langsung pindah tempat duduk. Bisa-bisa sekarang gue ada di posisi Ratih.”
Keyfa terkekeh. “Tapi lo keren banget tadi siang. Lo bisa ngebungkam seorang
Ratih yang terkenal dengan debatannya yang mematikan.”
“Terima kasih,”
Ujarku singkat.
Hening. Aku
tidak tahan. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada Keyfa. Tapi
aku terlalu malas bertanya lebih dahulu kepada orang asing.
“Yang lo
lakukan nggak salah kok. Serius.” Ucap Keyfa tiba-tiba membuat aku tersentak.
“Really? Tapi kenapa mereka semua seperti
itu?” Tak tahan aku menumpahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Yaa..
Bagaimana ya gue jelasinnya? Err.. Intinya lo nggak salah, deh.”
“Saya masih tak
mengerti.”
“Gini deh. Lo
punya temen yang melakukan kejahatan dan lo lapor itu ke orang lain. Di satu pihak
lo berbuat baik, di lain pihak temen lo ngerasa dikhianati. Ngerti, kan?” Jelas
Keyfa.
Teman?
Dikhianati? Apa yang mereka tahu tentang itu? Huh.
“Muncul lagi
deh senyum jahatnya.”
Aku tersadar
dari lamunanku. “What?”
“Lo ngerti kan
maksud gue tadi?”
“Tidak,” Aku
mengambil napas dalam. “Pertama, Ratih bukan teman saya. Kedua, bagaimana saya
bisa mengkhianati saat dia memang bukan teman saya?”
“Ya memang
Ratih yang ngaku-ngaku, sih. Tapi kan...”
“Saya tak
pernah bilang kalau dia teman saya.”
“Umumnya saat
orang melakukan perkenalan, itulah awal sebuah pertemanan.”
“If that so, i don’t want to know everybody.”
“Lo kenapa,
sih?”
Aku menundukkan
kepalaku. Semua ingatan itu langsung menyerbuku. “Last time I had a friend, I gave all I had to her, and what she did
just stab me. She dated my boyfriend. She said many bad things about me to her
another friends. I was so idiot,”
Hening. Aku
menengadahkan kepala dan mendapati Keyfa sedang menatap bingung ke arahku. Is he deaf?
“Terus apa itu
berarti semua orang yang akan berteman dengan lo punya niat untuk menghancurkan
lo?”
Deg. Seperti
sebuah tombak yang mempunyai ujung runcing, perkataannya langsung menembus
otakku.
“Temen lo yang
dulu itu memang salah. Tapi lo harus jadikan itu pelajaran. Bukan kenangan
buruk. Bukan dijadiin tameng buat masa depan lo.”
“Jadi, saya
salah?” Aku mendengus kesal.
“Yap.”
Aku melirik
sinis padanya. “Saya harus minta maaf kepada Ratih?”
“Absolutely.”
"Karena?"
"Karena lebih baik lo minta maaf walaupun lo nggak salah, daripada lo keras kepala selalu benar."
"Karena?"
"Karena lebih baik lo minta maaf walaupun lo nggak salah, daripada lo keras kepala selalu benar."
Aku balikkan
badanku menghadapnya, memiringkan kepalaku, dan menyipitkan mataku.
Menantangnya.
“Maksud gue, dia juga harus minta
maaf sama lo. Kalian berdua saling minta maaf. Yaelah, serem banget sih lo!”
Ucapnya cepat-cepat. “Dan lo pernah denger kata-kata Abraham Lincoln nggak?
Kata dia ‘Am I not destroying my enemies when I make friends of
them?’”
Aku balikkan
lagi badanku. Berusaha meresapi semua kata-kata Keyfa. Dia ada benarnya. Tidak
baik membawa kenangan burukmu ke masa depanmu. Tapi tetap saja rasanya hati ini
masih sakit mengingat pengkhianatan Rhannadine.
“Kalau lo ngerasa
masih susah buat maafin, nggak usah dipaksa. Saran gue sih lo mulai sesuatu
yang baru. Tuhan ngasih lo hal yang buruk supaya lo siap dengan hal yang
menyenangkan.” Jelas Keyfa seolah bisa membaca pikiranku.
“Walaupun anda
orang yang messy, jalan pikiran anda
ternyata bagus juga.” Ucapku ogah-ogahan.
Bisa
kulihat
dengan sudut mataku Keyfa meringis. “Lo tuh harus belajar bagaimana
caranya supaya nggak terlalu polos tahu nggak?” Keyfa memalingkan
mukanya melihat ke jalan dengan tatapan
kesal.
“Could you help me then?”
Keyfa menengok
ke arahku. “Bantu apa?”
“Belajar menjadi orang yang nggak terlalu polos.”
Kulihat orang
itu tersenyum. Senyum yang berbeda dengan yang pernah kulihat. “Tentu.”
Aku menghela
napas dan dengan cepat mengulurkan tanganku ke arahnya.
“Apa?” Tanya
Keyfa bingung.
“You said that i have to start the new one.
So, i want to start it from you.” Aku pasti bisa. “Nama saya Anandia Martha
Yuniati. Anda bisa panggil saya Artha. Nice
to know you.”
Keyfa membeku
cukup lama. Tanganku belum bergeming sedari tadi. Tapi nyaliku sudah ciut
duluan. Perlahan kutarik kembali tanganku. Tapi tiba-tiba tangan Keyfa sudah
menggenggam tanganku.
“Keyfa Rusyadi.
Lo panggil gue Keyfa aja. Dan sebagai pelajaran pertama gue ke lo, gue akan
ubah kata ‘saya-anda’ kamu setidaknya menjadi ‘aku-kamu’.” Ucap Keyfa dengan
senyum termanisnya.
============================
Oke (~_~) Udah lama gue nggak buat cerpen sama fanfict. Maklum gue lagi sibuk sama pelajaran di sekolah. Cerpen ini meaningnya nggak kuat banget, sih. Tapi cukuplah untuk sekedar penyegar otak (Buat gue, sih. Hehehe) :)
No comments:
Post a Comment