Friday, November 9, 2012

Teman Pertama

Hello, My name is Anandia Martha Yuniati,”
Seseorang mengacungkan tangannya. Seorang laki-laki dengan penampilan paling berantakkan yang pernah aku temui.
“Lo bisa bahasa Indonesia nggak, sih? Nggak usah sok formal pakai bahasa Inggris hanya karna lo sekolah di Sekolah Internasional deh,”
Semua murid di kelas itu sontak tersenyum-seyum menahan tawa. Bagian mana yang lucunya?
“Jaga sikapmu, Keyfa!” Tegur Bu Guru.
Little bit,” Balasku datar. “Boleh saya duduk sekarang, Ma’am?”
“Tentu tentu.......” Bu Guru itu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas. “Kamu duduk dengan Keyfa saja. Kebetulan teman duduknya sedang absen.”
Aku mengangkat alisku. Dengan orang itu? Tidak salah? Aku akan membantah ketika kuamati lekat-lekat wajah guruku. Wajah yang sangat ramah. Kata-kata yang sudah diujung lidahku harus ku telan kembali. Aku mengangguk hormat lalu berjalan ke tempat aku harus duduk.
“Jadi, Anan....”
Aku banting pelan tasku lalu duduk. Aku tidak ingin membuat kekacauan di hari pertamaku. “Panggil saya Artha,”
Orang itu tersenyum mengenjek. Betul-betul tampang yang sangat menyebalkan.
“Terserah deh. Jadi, lo itu bule, hah?”
Aku pandang laki-laki itu. “Apa maksud anda dengan kata ‘bule’ tadi?”
Laki-laki bernama Keyfa itu melongo. Aku mendengus melihat ekspresinya itu. “Jujur, saya kagum dengan namamu. It’s a good name. But it’s not suit with your attitude,” Komentarku.
Wajah laki-laki itu semakin tak terkontrol. Sungguh pemandangan yang lucu.
***
You came from France? Really?”
“Why do you come back to Indonesia? France is better than Indonesia, isn’t it?”
“How the guy in there? Omg!! I want to go to France someday,”
“Kalian apa-apaan, sih?! Norak tahu nggak. Dia tuh orang Indonesia. Nggak usah sok ngomong pakai Bahasa Inggris. Bahasa nasional kita kan Bahasa Indonesia. Urusan dia kalau dia nggak ngerti apa yang kita omongin!”
Aku terperanjat mendengar suara keras Keyfa. Untung saja Bu Guru tadi sudah keluar. Aku tak ingin melihat wanita seperti dia marah-marah. Aku memang berasal dari Perancis. Mamaku adalah orang Perancis dan ayahku orang Indonesia. Akibatnya aku mempunyai rambut hitam legam, badan proporsional, kulit yang lebih putih dari orang asia umumnya, dan mata berwarna abu-abu. Aku tinggal di Indonesia dari lahir hingga umur 7 tahun. Lalu ayahku ditugaskan ke Perancis, hingga aku kembali ke Indonesia lagi.
“Ih, Keyfa! Biasa aja kali. Reaksi lo lebay tahu,” Ujar perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ratih.
Aku mengerutkan alis. “Apa itu ‘lebay’?”
It means... Umm.. Acting more than it should be,” Balas Ratih dengan senyum yang super ramah. Tapi ramah yang terlalu dibuat-buat.
Aku lihat Keyfa menggedikkan bahu seperti merinding kedinginan. “Norak banget sih lo, Ratih! Dia aja nanyanya pakai Bahasa Indonesia, lo jawabnya sok pakai Bahasa Inggris. Reva! Tuker bangku, yuk! Bisa mendadak gila gue disini,” Teriak Keyfa ke salah satu laki-laki di sudut kelas.
“Nggak, deh. Lo sih duduk di depan. Hari ini ulangan Bahasa Jepang. Kan gue ogah ulangan berhadapan langsung dengan Sensei.” Teriak laki-laki yang dipanggil Reva tadi. Keyfa mendengus karna harus menerima nasibnya terperangkap denganku.
“Yaudeh. Lo tuker sama gue aja, Fa! Noh, lo duduk sama Megan. Biar gue duduk sama Artha...” Ratih menengok ke arahku dengan wajah yang berseri-seri. “Is it okay if i’m being your chairmate?”
Belum sempat aku membalas ucapannya, dia sudah melenggang pergi dan kembali membawa tas. Lalu dia melakukan gerakkan seperti mengusir Keyfa. Bagian kecil dariku tak ingin Keyfa pergi. Lebih baik aku terperangkap dengannya daripada dengan Ratih.
If you need something, you can ask me. This is my job as your friend.” Ujar Ratih yang sudah duduk di sampingku.
Friend, huh?
***
So, your mother is a Gaul?”
Aku mengangguk sekenanya. Ingin sekali aku pergi dari sini secepatnya. Suasana seketika menghening saat dari pintu muncul seorang guru dengan wajah yang ‘killer’.
“Keluarkan kertas selembar. Kita langsung ulangan. Dan untuk Anandia, kamu duduk saja. Tidak perlu mengikuti ulangan hari ini,” Ucap Guru tersebut.
She said that you...”
Saya mengerti maksud Guru itu. Terima kasih.” Ujarku dengan nada sinis. Ratih diam membisu dan lalu menulis di kertas kosong yang sudah ia siapkan sedari tadi.
Suasana kelas yang hening sungguh mendamaikanku hari ini. Dari tadi yang kulakukan hanya menahan senyum melihat ekspresi muka setiap anak-anak di kelas itu. Tatapan ku beralih ke sosok yang tiba-tiba berdiri dan melangkah ke arah meja guru. Keyfa.
“Kamu yakin dengan jawabanmu, Keyfa?” Tanya Guru itu dengan nada yang curiga.
“Yakin 100 persen, Sensei! Bahasa Jepang kan Bahasa Ibu saya,” Jawab Keyfa dengan humor.
Tatapanku terus menancap ke arah Keyfa sampai dia meninggalkan kelas. Dari sudut mataku, aku menangkap suatu gerakkan aneh di sampingku. Saat aku menengok, aku melihat Ratih mengeluarkan sebuah buku dari laci meja.
What are you doing?” Tanpa sadar aku berteriak terlalu keras hingga perhatian seisi kelas terpusat padaku dan Ratih. Cepat-cepat Ratih memasukkan kembali buku tadi.
“Ada apa, Anandia? Tanya Pak Guru yang sudah berdiri di sampingku.
“Ratih mengeluarkan sebuah buku dari laci, Sir!” Jawabku sejujurnya.
Pak Guru itu menangkat alis. “Benar begitu, Ratih?”
Ratih menggeleng cepat. Lalu Guru itu memasukkan tangannya dan menarik sebuah buku. Dibukanya buku itu. Kembali kulihat alis Guru itu menaik.
“Kamu boleh menyusul Keyfa keluar kelas, Ratih.” Perintah Pak Guru.
“Ta—tapi, sa-saya belum selesai, Sensei.” Ujar Ratih dengan gagap.
“Tidak apa-apa. Lagipula kertas ujianmu tak akan diperiksa oleh Bapak. Silahkan meninggalkan kelas.” Ucap Pak Guru dan berjalan kembali ke mejanya.
Ratih sontak menoleh ke arahku dengan tatapan berang sebelum ia keluar kelas. Aku bingung. Apa salahku?
***
“Lo kok jahat gitu, sih?” Serbu Ratih setelah Guru Bahasa Jepang itu meninggalkan kelas.
Aku diam. Tidak tahu harus membalas bagaimana.
“Apaan, sih?” Keyfa menyeruak dari kerumunan murid-murid yang sudah mengelilingiku. Sebagian diantaranya kesal dengan ulahku. Sebagiannya lagi ingin tahu apa yang akan terjadi.
“Gara-gara Artha gue kena sama Sensei!” Adu Ratih.
“Apa salah saya?” Tanyaku bingung. Lalu kerumunan tersebut membisikkan kata-kata yang tak bisa aku dengar.
“Lo polos banget, sih? Apa salah gue sama lo? Gue udah baik sama lo. Gue bersedia bantuin lo kalau lo perlu apa-apa. Gue mau berteman sama lo. Apa salah gue, hah?!” Bentak Ratih.
Tidak semua kata-kata Ratih dapat aku tangkap. Tapi ada satu kalimat yang langsung tertancap di otakku.
Aku lalu menatap bengis ke arah Ratih. Kerumunan itu sontak terdiam melihat tatapanku. “Sejak awal, saya tak pernah mengakui anda sebagai teman saya.”
***
Aku menunggu sopir Ayah datang menjemput. Sudah lebih dari 10 menit aku menunggu. Apakah tak ada satu pun dari orang-orang di negara ini yang bisa datang tepat waktu?
“Hey!”
Aku terlonjak mendengar suara itu. Dengan cepat aku menoleh dan mendapati Keyfa sedang berjalan ke arahku.
“Ngapain lo?” Tanyanya.
Waiting.” Jawabku.
“Mau gue temenin?”
Refleks aku melongo. Dia menawarkan bantuan? Serius?
“Errr... Bukannya apa-apa. Tapi gue nggak tega liat cewek sendirian sore-sore begini. Apalagi cewek kayak lo. Terlalu menggoda buat diculik,” Tambahnya.
Aku mengangguk singkat. Tidak baik menolak kebaikkan. Keyfa berdiri di sampingku sembari memainkan handphonenya.
“Untung gue langsung pindah tempat duduk. Bisa-bisa sekarang gue ada di posisi Ratih.” Keyfa terkekeh. “Tapi lo keren banget tadi siang. Lo bisa ngebungkam seorang Ratih yang terkenal dengan debatannya yang mematikan.”
“Terima kasih,” Ujarku singkat.
Hening. Aku tidak tahan. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada Keyfa. Tapi aku terlalu malas bertanya lebih dahulu kepada orang asing.
“Yang lo lakukan nggak salah kok. Serius.” Ucap Keyfa tiba-tiba membuat aku tersentak.
Really? Tapi kenapa mereka semua seperti itu?” Tak tahan aku menumpahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Yaa.. Bagaimana ya gue jelasinnya? Err.. Intinya lo nggak salah, deh.”
“Saya masih tak mengerti.”
“Gini deh. Lo punya temen yang melakukan kejahatan dan lo lapor itu ke orang lain. Di satu pihak lo berbuat baik, di lain pihak temen lo ngerasa dikhianati. Ngerti, kan?” Jelas Keyfa.
Teman? Dikhianati? Apa yang mereka tahu tentang itu? Huh.
“Muncul lagi deh senyum jahatnya.”
Aku tersadar dari lamunanku. “What?”
“Lo ngerti kan maksud gue tadi?”
“Tidak,” Aku mengambil napas dalam. “Pertama, Ratih bukan teman saya. Kedua, bagaimana saya bisa mengkhianati saat dia memang bukan teman saya?”
“Ya memang Ratih yang ngaku-ngaku, sih. Tapi kan...”
“Saya tak pernah bilang kalau dia teman saya.”
“Umumnya saat orang melakukan perkenalan, itulah awal sebuah pertemanan.”
If that so, i don’t want to know everybody.
“Lo kenapa, sih?”
Aku menundukkan kepalaku. Semua ingatan itu langsung menyerbuku. “Last time I had a friend, I gave all I had to her, and what she did just stab me. She dated my boyfriend. She said many bad things about me to her another friends. I was so idiot,”
Hening. Aku menengadahkan kepala dan mendapati Keyfa sedang menatap bingung ke arahku. Is he deaf?
“Terus apa itu berarti semua orang yang akan berteman dengan lo punya niat untuk menghancurkan lo?”
Deg. Seperti sebuah tombak yang mempunyai ujung runcing, perkataannya langsung menembus otakku.
“Temen lo yang dulu itu memang salah. Tapi lo harus jadikan itu pelajaran. Bukan kenangan buruk. Bukan dijadiin tameng buat masa depan lo.”
“Jadi, saya salah?” Aku mendengus kesal.
“Yap.”
Aku melirik sinis padanya. “Saya harus minta maaf kepada Ratih?”
Absolutely.”  
"Karena?"
"Karena lebih baik lo minta maaf walaupun lo nggak salah, daripada lo keras kepala selalu benar."
Aku balikkan badanku menghadapnya, memiringkan kepalaku, dan menyipitkan mataku. Menantangnya.
“Maksud gue, dia juga harus minta maaf sama lo. Kalian berdua saling minta maaf. Yaelah, serem banget sih lo!” Ucapnya cepat-cepat. “Dan lo pernah denger kata-kata Abraham Lincoln nggak? Kata dia ‘Am I not destroying my enemies when I make friends of them?’”

Aku balikkan lagi badanku. Berusaha meresapi semua kata-kata Keyfa. Dia ada benarnya. Tidak baik membawa kenangan burukmu ke masa depanmu. Tapi tetap saja rasanya hati ini masih sakit mengingat pengkhianatan Rhannadine.
“Kalau lo ngerasa masih susah buat maafin, nggak usah dipaksa. Saran gue sih lo mulai sesuatu yang baru. Tuhan ngasih lo hal yang buruk supaya lo siap dengan hal yang menyenangkan.” Jelas Keyfa seolah bisa membaca pikiranku.
“Walaupun anda orang yang messy, jalan pikiran anda ternyata bagus juga.” Ucapku ogah-ogahan.
Bisa kulihat dengan sudut mataku Keyfa meringis. “Lo tuh harus belajar bagaimana caranya supaya nggak terlalu polos tahu nggak?” Keyfa memalingkan mukanya melihat ke jalan dengan tatapan kesal.
Could you help me then?”
Keyfa menengok ke arahku. “Bantu apa?”
“Belajar menjadi orang yang nggak terlalu polos.”
Kulihat orang itu tersenyum. Senyum yang berbeda dengan yang pernah kulihat. “Tentu.”
Aku menghela napas dan dengan cepat mengulurkan tanganku ke arahnya.
“Apa?” Tanya Keyfa bingung.
You said that i have to start the new one. So, i want to start it from you.” Aku pasti bisa. “Nama saya Anandia Martha Yuniati. Anda bisa panggil saya Artha. Nice to know you.”
Keyfa membeku cukup lama. Tanganku belum bergeming sedari tadi. Tapi nyaliku sudah ciut duluan. Perlahan kutarik kembali tanganku. Tapi tiba-tiba tangan Keyfa sudah menggenggam tanganku.
“Keyfa Rusyadi. Lo panggil gue Keyfa aja. Dan sebagai pelajaran pertama gue ke lo, gue akan ubah kata ‘saya-anda’ kamu setidaknya menjadi ‘aku-kamu’.” Ucap Keyfa dengan senyum termanisnya.
============================
 Oke (~_~) Udah lama gue nggak buat cerpen sama fanfict. Maklum gue lagi sibuk sama pelajaran di sekolah. Cerpen ini meaningnya nggak kuat banget, sih. Tapi cukuplah untuk sekedar penyegar otak (Buat gue, sih. Hehehe) :) 

No comments: