London, Mei 1997
“Kau tahu apa yang kubenci sekarang? Mencintai seseorang. Karena apa?
Karena itu akan menyita waktuku hanya untuk memikirkan seseorang yang
bahkan mungkin tidak memikirkanku. Karena itu membuat kubisa saja
melakukan hal bodoh. Karena itu dapat membuatku sakit tanpa alasan yang
logis. Aku benci harus mencintaimu. Aku benci dengan keadaan seperti
ini. Aku benci kenyataan aku tak bisa mendapatkanmu. Kau tahu sendiri
alasannya. Jadi untuk apa aku menulis surat ini? Aku hanya ingin kau
tahu sebagaimana kau telah membuatku repot dengan tidak melakukan
apa-apa.”
Bernapas tidak pernah sesesak ini. Semuanya membuatku letih. Aku tak
tahu harus melakukan apa. Yang terpikir olehku hanyalah aku tak bisa
kemana-mana lagi. Dia telah menghunuskan pedangnya tepat di hulu hatiku.
Masih bisakah aku hidup? Tentu saja. Tapi rasanya menjadi lebih
menyulitkan dari sebelumnya. Menjadi lebih rumit. Menjadi lebih palsu.
Ya, palsu. Semua yang akan aku lakukan dengannya akan menjadi palsu.
Penuh kepura-puraan. Penuh rasa bersalah. Apakah kami bisa bertahan
dengan seperti ini?
Haruskah kubalas surat itu? Surat yang ia selipkan di koperku. Tapi
membalasnya pun sudah tidak ada artinya. Semuanya sudah terjadi. Aku tak
bisa meminta dia berhenti. Tapi aku juga tak bisa meminta dia kembali
seperti semula. Jadi apa yang bisa kulakukan sekarang?
Hogwarts, Mei 1998
Kupandangi badan kakunya. Pundaknya tidak naik-turun. Menandakan ia tak
bernapas lagi. Napasku tercekat. Sesuatu dalam tubuhku meledak-ledak.
Meninju perutku. Membuatku ambruk ke tanah. Pelupukku sudah tak dapat
membendung air mata. Air mataku jatuh bagaikan hujan deras. Setiap
tetesannya mengandung Beratus teriakkan yang mulutku tak bisa
mengeluarkannya. Mengandung beribu pertanyaan yang otakku tak bisa
memikirkannya. Mengandung berjuta perasaan yang hatiku tak bisa
menampungnya. Dan baru kusadari. Betapa aku mencintai orang itu. Bahkan
mungkin sejak dia memberikanku selamat karena aku menjadi salah satu
murid gryffindor.
Kupandangi sekujur tubuhnya dengan seksama. Untuk terakhir kalinya. Dan
semua memori menabrak otakku. Saat ia membuat lelucon di ruang rekreasi
gryffindor. Saat ia menjadikan salah satu murid kelas satu sebagai
contoh mainan leluconnya. Bagaimana ekspresi dia saat aku menegurnya.
Bagaimana senyum canggung yang ia berikan padaku saat pernikahan Bill.
Bagaimana kerinduan yang aku temui saat melihat ia dan pasukan orde
datang melewati lukisan adik dari Dumbledore. Semua kenangan itu akan
kuabadikan.
Seseorang berjalan ke arahku dan berjongkok di hadapanku. Wajahnya. Tapi
bukan dirinya. Susah bagiku untuk menahan kedua tanganku agar tidak
memeluk orang di hadapanku dan meneriakkannya betapa aku merindukan
semua hal tentang dia. Karena orang itu bukan dia. Dia sudah pergi. Yang
tertinggal hanyalah tubuhnya. Tanpa ada lelucon di mulutnya. Tanpa ada
tawa di setiap tatapannya. Tanpa ada kegembiraan di setiap hembusan
napasnya. Kembali air mataku mengalir.
“Hei.” Sapa George lembut.
Aku tersedak oleh tangisku. Suaranya. Persis. Tapi tetap saja bukan dirinya. “Kenapa harus dia?” Bisikku.
George tersenyum miris. “Itu pertanyaan yang aku putar di otakku ribuan kali.”
Aku menutup mata. Bahkan senyum George pun sama dengan dia.
“Hermione. Aku juga kehilangan-“
“Aku tahu. Aku hanya.. Hanya.. Menyesal” Aku tersenyum getir. Terasa
sentuhan benda pada tanganku. Kubuka mataku dan melihat sepucuk surat
diberikan oleh George.
“Dia meninggalkan ini untuk jaga-jaga. Aku sempat marah karena ini. Tapi dia memaksa.”
Kuambil surat itu dan kulihat namaku tertulis pada amplopnya. Mataku
beralih menatap George. Dia mengangguk meyakinkan. Dengan hati-hati
kubuka surat itu dan mulai membaca,
“Hai. Jika kau menerima surat ini berarti aku sudah tidak bisa
memberitahukannya secara langsung. Sungguh itu sebenarnya niatku,
memberitahu segalanya secara langsung. Tapi kematian memang susah
dibohongi. Well, aku minta maaf. Atas segalanya. Aku memang bodoh dengan
menulis surat tahun lalu itu. Aku menyesal. Aku salah. Salah besar.
Maafkan aku ya? Aku ralat surat tahun lalu itu.
Kau tahu apa yang paling kusukai dalam hidupku selain humoran tentunya?
Mencintai kamu. Ya walau sakit setidaknya dengan melihat kamu selalu ada
sudah membuat aku tenang. Kaulah tawa di setiap leluconku. Aku tidak
pernah menyesal mencintaimu. Aku melihat adikku melakukan hal yang sama,
tapi tidak apa-apa. Aku mengerti. Kalian berdua memang tidak cocok
secara sifat. Tapi kalian cocok secara kebutuhan. Ya. Aku cemburu. Tapi
jika itu dapat melihatmu bahagia, kenapa tidak? Walau bukan aku alasan
kebahagiaan kamu. Walau bukan aku yang membuat kau bahagia. Aku sayang
adikku juga. Aku tak mau kalian berpisah karena aku. Aku Cuma ingin kau
tahu, aku bahagia melihat kau tetap tertawa bahagia. Sesederhana itu.”