Saturday, June 23, 2012

Two Letters

London, Mei 1997

“Kau tahu apa yang kubenci sekarang? Mencintai seseorang. Karena apa? Karena itu akan menyita waktuku hanya untuk memikirkan seseorang yang bahkan mungkin tidak memikirkanku. Karena itu membuat kubisa saja melakukan hal bodoh. Karena itu dapat membuatku sakit tanpa alasan yang logis. Aku benci harus mencintaimu. Aku benci dengan keadaan seperti ini. Aku benci kenyataan aku tak bisa mendapatkanmu. Kau tahu sendiri alasannya. Jadi untuk apa aku menulis surat ini? Aku hanya ingin kau tahu sebagaimana kau telah membuatku repot dengan tidak melakukan apa-apa.”



Bernapas tidak pernah sesesak ini. Semuanya membuatku letih. Aku tak tahu harus melakukan apa. Yang terpikir olehku hanyalah aku tak bisa kemana-mana lagi. Dia telah menghunuskan pedangnya tepat di hulu hatiku. Masih bisakah aku hidup? Tentu saja. Tapi rasanya menjadi lebih menyulitkan dari sebelumnya. Menjadi lebih rumit. Menjadi lebih palsu. Ya, palsu. Semua yang akan aku lakukan dengannya akan menjadi palsu. Penuh kepura-puraan. Penuh rasa bersalah. Apakah kami bisa bertahan dengan seperti ini?

Haruskah kubalas surat itu? Surat yang ia selipkan di koperku. Tapi membalasnya pun sudah tidak ada artinya. Semuanya sudah terjadi. Aku tak bisa meminta dia berhenti. Tapi aku juga tak bisa meminta dia kembali seperti semula. Jadi apa yang bisa kulakukan sekarang?









Hogwarts, Mei 1998

Kupandangi badan kakunya. Pundaknya tidak naik-turun. Menandakan ia tak bernapas lagi. Napasku tercekat. Sesuatu dalam tubuhku meledak-ledak. Meninju perutku. Membuatku ambruk ke tanah. Pelupukku sudah tak dapat membendung air mata. Air mataku jatuh bagaikan hujan deras. Setiap tetesannya mengandung Beratus teriakkan yang mulutku tak bisa mengeluarkannya. Mengandung beribu pertanyaan yang otakku tak bisa memikirkannya. Mengandung berjuta perasaan yang hatiku tak bisa menampungnya. Dan baru kusadari. Betapa aku mencintai orang itu. Bahkan mungkin sejak dia memberikanku selamat karena aku menjadi salah satu murid gryffindor.

Kupandangi sekujur tubuhnya dengan seksama. Untuk terakhir kalinya. Dan semua memori menabrak otakku. Saat ia membuat lelucon di ruang rekreasi gryffindor. Saat ia menjadikan salah satu murid kelas satu sebagai contoh mainan leluconnya. Bagaimana ekspresi dia saat aku menegurnya. Bagaimana senyum canggung yang ia berikan padaku saat pernikahan Bill. Bagaimana kerinduan yang aku temui saat melihat ia dan pasukan orde datang melewati lukisan adik dari Dumbledore. Semua kenangan itu akan kuabadikan.

Seseorang berjalan ke arahku dan berjongkok di hadapanku. Wajahnya. Tapi bukan dirinya. Susah bagiku untuk menahan kedua tanganku agar tidak memeluk orang di hadapanku dan meneriakkannya betapa aku merindukan semua hal tentang dia. Karena orang itu bukan dia. Dia sudah pergi. Yang tertinggal hanyalah tubuhnya. Tanpa ada lelucon di mulutnya. Tanpa ada tawa di setiap tatapannya. Tanpa ada kegembiraan di setiap hembusan napasnya. Kembali air mataku mengalir.

“Hei.” Sapa George lembut.

Aku tersedak oleh tangisku. Suaranya. Persis. Tapi tetap saja bukan dirinya. “Kenapa harus dia?” Bisikku.

George tersenyum miris. “Itu pertanyaan yang aku putar di otakku ribuan kali.”

Aku menutup mata. Bahkan senyum George pun sama dengan dia.

“Hermione. Aku juga kehilangan-“

“Aku tahu. Aku hanya.. Hanya.. Menyesal” Aku tersenyum getir. Terasa sentuhan benda pada tanganku. Kubuka mataku dan melihat sepucuk surat diberikan oleh George.

“Dia meninggalkan ini untuk jaga-jaga. Aku sempat marah karena ini. Tapi dia memaksa.”

Kuambil surat itu dan kulihat namaku tertulis pada amplopnya. Mataku beralih menatap George. Dia mengangguk meyakinkan. Dengan hati-hati kubuka surat itu dan mulai membaca,

“Hai. Jika kau menerima surat ini berarti aku sudah tidak bisa memberitahukannya secara langsung. Sungguh itu sebenarnya niatku, memberitahu segalanya secara langsung. Tapi kematian memang susah dibohongi. Well, aku minta maaf. Atas segalanya. Aku memang bodoh dengan menulis surat tahun lalu itu. Aku menyesal. Aku salah. Salah besar. Maafkan aku ya? Aku ralat surat tahun lalu itu.
Kau tahu apa yang paling kusukai dalam hidupku selain humoran tentunya? Mencintai kamu. Ya walau sakit setidaknya dengan melihat kamu selalu ada sudah membuat aku tenang. Kaulah tawa di setiap leluconku. Aku tidak pernah menyesal mencintaimu. Aku melihat adikku melakukan hal yang sama, tapi tidak apa-apa. Aku mengerti. Kalian berdua memang tidak cocok secara sifat. Tapi kalian cocok secara kebutuhan. Ya. Aku cemburu. Tapi jika itu dapat melihatmu bahagia, kenapa tidak? Walau bukan aku alasan kebahagiaan kamu. Walau bukan aku yang membuat kau bahagia. Aku sayang adikku juga. Aku tak mau kalian berpisah karena aku. Aku Cuma ingin kau tahu, aku bahagia melihat kau tetap tertawa bahagia. Sesederhana itu.”


No comments: